Friday, September 30, 2005
Cipok ala TNI
Entah bagaimana etimologi, asal-usul kata itu, cium bibir dan seterusnya itu disebut “cipok”. Sekarang, kata itu jarang terdengar, meski, tentu, tak berarti jarang terjadi. Tapi, diam-diam, soal cium-mencium ini menjadi tanda-tanda zaman. Cipika dan cipiki, cium pipi kiri dan kanan di saat bertemu atau berpisah, menjadi kelaziman orang kota. Bahkan, di era digital ini, Anda bisa cipi-cipian teruuuus, setiap menit dan setiap jam, lewat “virtual kiss” yang tersedia di internet. Tapi, ketimbang cipokan maya, Anda pasti lebih suka cipi dan cipok beneran. Maka, soal cium-mencium pun jadi jamak di Indonesia. Ini cerita pergeseran suasana zaman.
Di Prancis, yang, orangnya, bahasanya, bahkan sejarah politiknya, sering dianggap romantis, tak ada cerita cipika dan cipiki. Di Jerman, juga tak ada adat cipika-cipiki. Sebaliknya, di Belanda, mereka tak puas dengan dua kali cium pipi, tapi harus tiga kali -cipika, cipiki, dan cipika lagi. Baru baru ini, adat itu menjadi peristiwa nasional ketika Ratu Belanda Beatrix disambut cium tiga kali oleh seorang selebriti lokal. Di Lelystad, kota polder dekat Amsterdam, dia disambut penyanyi asal Maroko. Cium tiga kali sang penyanyi dan penari rapper tenar, Ali B kepada Ratu Belanda itu, menjadi simbol untuk mendorong re-konsiliasi multikultural, karena hubungan antar etnik di Belanda belakangan agak terganggu gara gara pembunuhan sineas Theo van Gogh oleh seorang ekstremis asal Maroko.
Jadi, soal cium-mencium – sebagai isyarat keakraban, kehangatan dan kedamaian - rupanya cocok untuk dijadikan simbolik bagi tujuan-tujuan politik. Belum lama lalu, dalam kolom ini saya menulis betapa Soeharto, meski pun dia bekas diktator yang cemar, toh memperoleh cipi, cihi dan ciken - cium pipi, cium dahi dan cium kening, dari bekas kawan, bawahan, bahkan bekas lawannya, antara lain dari Wakil Ketua MPR A.M. Fatwa yang pernah dihukum Orde Baru belasan tahun penjara. Dan cium kening, diperolehnya dari presiden yang sekarang, Susilo Bambang Yudhoyono.
Semua itu, merupakan isyarat – isyarat loyalitas dari yang mencium terhadap yang dicium, tapi juga isyarat kepada publik bahwa hubungan antara keduanya itu masih penting. Jadi, ada nilai nilai tertentu yang hendak disampaikan. Dengan kata lain, soal cium-mencium seolah-olah tidak hanya jadi bagian dari ranah publik, tapi sudah jadi bagian ranah politik.
Nah, seorang prajurit TNI, Eko namanya, baru baru ini dengan spontan mencium pacarnya, Yuni, gadis Aceh berjilbab, saat keduanya berpisah di pelabuhan Krueng Geukeuh, Lhoksemauwe. Kontan media massa ramai. Majalah Gatra menyambutnya sebagai hal yang wajar dan memasang judul “Tentara, asmara dan air mata”. Tapi suratkabar popular di Belanda, De Telegraaf, mengangkatnya sebagai insiden yang menghebohkan. “Ada heboh seputar ciuman panas,” katanya. Memang, ada asmara yang menggelora, dan di permukaan publik, ada kemarahan.
Tapi, yang paling menarik bagi saya, adalah sikap publik di sekitar adegan cipok itu. Prajurit Eko dan Inong Yuni, jelas, tak peduli dunia sekitar. Sebaliknya, publik sekitar amat peduli terhadap ulah pasangan tsb. Publik yang terdiri dari kolega-kolega Eko memandang Eko dan Yuni dengan penuh perhatian, ingin tahu dan mung-kin juga dengan cemburu. Mereka sama sekali tidak marah, malah amat toleran terhadap adegan privat di muka publik itu. Bahkan, publik tetap senyum ketika bos mereka, sang Pangdam, Mayjen Supiadin, memperingatkan prajurit Eko.
Anehnya, reaksi reaksi yang muncul memperlihatkan kemarahan publik. Sang Pangdam marah, dan atas nama korpsnya, dia minta maaf kepada publik. Di kalangan TNI, ulah tsb rupanya sudah dianggap biasa, lumrah. Di Nisam, Aceh Utara, April 2004 saya pernah mewawancarai seorang komandan setempat, sementara di belakang di tangsi itu, saya dengar suara adegan panas, “lebih seru” ketimbang cipokannya Eko dan Yuni. Selain itu, jelas, toleransi dan wajah gembira para prajurit itu juga mencerminkan suasana perdamaian di Aceh, yang memungkinkan mereka pulang kampung. Maka, saya menyimpulkan, kemarahan Pangdam Mayjen Supiadin itu tampaknya cuma basa basi belaka buat publik lokal, bukan marah beneran kepada anakbuahnya.
Jadi, cipokan Eko-Yuni adalah sebuah “pemberontakan kecil” terhadap polisi-susila.
Apa yang terjadi tampaknya adalah semacam batu ujian: seberapa jauhkah cipok Eko-Yuni itu akseptabel untuk dilakukan di muka umum. Kalau di dunia Barat, batas itu makin hilang, di dunia Asia, harus diuji-coba terus sampai di mana batas toleransi publik. Tapi, jangan lupa, “pemberontakan” Eko yang beragam TNI, dan Yuni yang berjilbab itu, tak sulit mereka lakukan karena TNI punya privilese hanya tunduk pada hukum militer, jadi Eko pun akan bebas dari hukum cambuknya polisi Syariah.
Lantas bagaimana nasib Inong Yuni yang ditinggal? Kok sang Pangdam, publik dan media massa diam sazha?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Post a Comment