Saturday, September 10, 2005
Desivilisasi New Orleans dan Sivilisasi Aceh
Desivilisasi New Orleans dan Sivilisasi Aceh
Kolom Aboeprijadi Santoso, 9 September 2005
Seorang sejarawan Inggris baru-baru ini menulis dalam harian The Guardian tentang apa yang disebutnya “decivilization”. Timothy Garton Ash mengingatkan dalam kolomnya agar dunia Barat janganlah takabur. Apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan desivilisasi itu?
Desivilisasi New Orleans
Menurut Timothy Garton musibah Katrina membuat kita semakin insyaf bahwa di bawah lapisan keberadaban kita, sebenarnya ada kebiadaban tersembunyi. Sesekali, dia muncul, seperti di kala musibah di New Orleans. Tidak hanya itu, katanya. Bukankah penjarahan, pemerkosaan, dan teror bersenjata yang terjadi di New Orleans itu, juga terjadi di Eropa yang manis dan beradab ini? Baru 60 tahun silam, kita menatap Tragedi Besar Holocaust, kebiadaban di Napoli tahun 1944, dan baru 10 tahun lalu kita menyaksikan tragedi serupa di Bosnia. Maka dia menyimpulkan: Eropa yang sekarang ini sebenarnya adalah produk dari sejumlah musibah buatan orang, man-made disasters.
Yang menarik, sejarawan ini tidak merumuskan ‘peradaban’ itu sebagai suatu keadaan yang statis dan final, di suatu tempat, di suatu saat, belaka. Peradaban atau “civilization”, baginya, adalah suatu proses besar. Jadi, kebalikan dari peradaban bukan “kebiadaban”, melainkan proses kebalikannya, yaitu “de-civilization”. Kita sebut saja “desivilisasi”.
Dengan kata lain, desivilisasi adalah rentetan kejadian dan kehidupan tak beradab, yang terjadi akibat musibah alam mau pun musibah politik alias buatan manusia. Dalam proses desivilisasi itu, manusia berhenti menjadi manusia, dan berubah menjadi biadab. Tapi proses aib ini bukan sesuatu yang banyak absen, dan cuma sesekali muncul, melainkan selalu hadir - dia hadir di bawah selaput keberadaban yang manis itu.
Timothy Garton Ash, tentu saja, berbicara semata-mata tentang peradaban Barat dan membanding-bandingkan antar kasus di dalam ranah peradaban Barat menyusul tragedi banjir pasca-Katrina di New Orleans. Tetapi, tanpa disadarinya, sebenarnya dia berbicara tentang aib-aib besar Orde Baru dan pasca-Orde Baru – sejak Tragedi Besar 1965-66, Timor Timur, Aceh, Mei 1998, tapi juga musibah tsunami dst.
Badai Katrina sudah banyak diramalkan, penguasa setempat sempat mengevakuasi ratusan ribu penduduk tepi pantai dua hari menjelang badai. Tanpa disangka, lima hari kemudian bendungan-bendungan jebol, dan datanglah air bah yang melanda ibukota New Orleans. Inilah yang mengakibatkan musibah kemanusiaan yang besar, yang menelan puluhan ribu jiwa. Padahal, empat tahun silam, majalah ilmiah-populer American Scientists sudah memperingatkan semua itu dalam artikel berjudul “New Orleans: A Disaster Waiting to Happen” yang terbit tahun 2001.
Nah, kegagalan suatu negara maju untuk mengatasi musibah itulah yang mengungkap dampak berbentuk kebiadaban di Amerika itu – mulai dari perintah tembak di tempat, penjarahan, pengabaian dan penelantaran penduduk hitam dan miskin itu, dsb. Desivilisasi di Amerika ini tidak hanya menyengat isu politik dalam negeri Amerika, tapi juga menyengat perhatian dan pertanyaan dunia – bagaimana musibah dan aib itu bisa terjadi di negara terkuat, termaju dan terkaya di jagad ini?
Sivilisasi Aceh
Tsunami di Aceh dan Asia Tenggara, juga datang setelah musibah lain, yaitu gempa hebat yang mengundang orang mengeruk ikan-ikan yang terdampar di pantai, yang kemudian disusul gelombang tsunami yang menyapu manusia dan masyarakat pantai. Tiga minggu setelah musibah, saya menyaksikan dampaknya di pantai barat daya Aceh, antara Blang Pidie dan Meulaboh, juga di Banda Aceh dan Lamno.
Di Aceh, tak ada perintah tembak setempat, bahkan tentara yang seringkali dimusuhi rakyat, malah turun tangan pertama kali untuk membantu para korban. Tentu, juga ada gejala penjarahan, oleh tentara, polisi atau pun warga. Juga warga memanfaatkan situasi dengan menaikkan harga obat-obatan dan pangan. Akan tetapi, desivilisasi semacam di New Orleans tidak terjadi. Yang terjadi, malahan semacam penyadaran, yaitu munculnya suatu kesadaran baru. Refleksi dan tanggapan yang populer dan meluas adalah menyalahkan diri sendiri. Tsunami, kata mereka, adalah karunia, atau hukuman Tuhan karena macam-macam ulah kita yang tidak pantas, katanya.
Tentu saja, dunia tidak berputar karena pola sikap yang normatif seperti ini. Tetapi yang terjadi pasca-tsunami di Aceh bukanlah desivilisasi, melainkan justru sivilisasi – artinya, sejauh musibah itu membangkitkan refleksi, pemikiran serta kebangkitan baru dari masyarakat untuk menghadapi tantangan dan menempuh hidup baru.
Sivilisasi Aceh yang amat berkontras dengan desivilisasi New Orleans ini tampak di kalangan muda. Seorang siswi SMP Meulaboh menjelaskan pada saya mengapa dia merasa perlu menghadapi kehidupan secara lebih serius, karena makna tsunami, katanya, adalah mengukur dosa dan berbagi sanksi Allah. Seorang penyiar radio, juga di Meulaboh, kehilangan seluruh sanak keluarganya, namun dia bangkit dengan tegar, lewat siaran-langsungnya, dengan cara bersilahturahmi dengan masyarakat dan mengajak para korban bangkit. Di Banda Aceh, sebuah komuniti membangun kebersamaan di Ullee Lhue tanpa menantikan inisiatif penguasa lokal, dsb, dsb.
Tapi seperti dikatakan di atas, sivilisasi mau pun desivilisasi adalah proses, dan keduanya hadir, meski tidak selalu menggejala secara serentak. Sivilisasi di Amerika ternyata diselingi desivilisasi di New Orleans, sedangkan sivilisasi di Aceh pasca-tsunami menjadi selingan dari desivilisasi dari (pasca)-Orde Baru di Indonesia. Apalagi, bagi negeri seperti Aceh, batas antara dampak musibah alam dan dampak musibah buatan manusia, akhirnya, hanya tipis belaka. Sehingga yang tersisa adalah kerinduan akan damai yang memacu kebangkitan.
Walhasil, luluh-lantaknya Aceh, yang bermusibah-ganda, baik musibah alam, gempa, banjir dan tsunami, mau pun bencana politik dan kemanusiaan semasa DOM dan konflik 30 tahun itu, adalah produk dari dinamika sivilisasi dan desivilisasi. Untuk sebagian, Aceh menjadi cermin dari desivilisasi Orde Baru.
Perdamaian Aceh di Helsinki, menurut Kwik Kian Gie yang baru baru ini bertamu ke Radio Nederland, adalah semacam pampasan perang yang harus dibayar oleh Indonesia akibat kesalahan pusat dan kejahatan tentara di masa lalu. Tapi, Kwik lupa mencatat bedanya: selain bayar pampasan, para jendral Jepang dihukum oleh Tribunal Tokyo, sedangkan di Indonesia para jendral tetap menikmati impunitas - sekali pun pernah terjadi kejahatan perang di TimTim dan Aceh.
Jadi, di mana pun juga, desivilisasi harus selalu dibayar atau diimbangi dengan sivilisasi – baik di Aceh maupun di New Orleans.
© Radio Nederland Wereldomroep, all rights reserved
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment