Monday, December 12, 2005

Hengkang - Sinisme Amerika & Orde Baru

oleh Aboeprijadi Santoso Hengkang pernah menjadi solusi zaman - kata yang tepat untuk pasukan asing yang menjadi tentara pendudukan atau tentara kolonial – untuk tentara Amerika yang harus mundur dari Vietnam, atau tentara Belanda dari Indonesia, dan tentara Indonesia dari Timor Timur, dsb. Tapi, di zaman terorisme, teror kelompok maupun teror negara, "hengkang" menjadi kadaluwarsa. Dia terlampau sederhana untuk menjadi solusi soal teror. Humor melawan teror Seorang kolomnis yang humoris, baru-baru ini menulis, kita perlu mengikuti jejak Gus Dur, yaitu menggunakan humor sebagai wahana melawan teror. Kawan tsb, Triagus Siswowiharjo, menyimpulkan: "Terorisme, teroris dan teror adalah kebodohan dan kekonyolan. Tak cukup (dihadapi) hanya dengan pendekatan hukum dan pendekatan agama. Masyarakat harus mulai menertawakan teroris dan simpatisannya karena mereka adalah musuh bersama. Para pelaku bom bunuh diri bukan syahid, tapi 'syakit' alias sakit. Berani mati, tapi takut hidup. Bukan jihad, tapi jahat. Ke Bali bukan jadi turis, tapi teroris. Bukan kebarat-baratan, tapi ke-arab-arab-an, dst. Mari kita melawan terorisme, teroris, dan teror dengan humor!" Gus Dur melawan teror dengan humor. Dengan semangat besar, tapi tenaga kurang. Pada tahun 1999, saat menjadi orang nomor satu di republik ini, dia menantang orang-orang dari luar Ambon yang mau masuk Ambon dengan dalih mau jihad. Gus memperingatkan secara serius, dengan gaya humoris: "Mau jihad kek, mau jahit kek, pokoknya orang yang masuk Ambon membawa senjata, harus ditangkap!" Seminggu kemudian orang-orang itu sudah masuk Ambon. Tak satu pun ditangkap. Sejak itu, pecah kerusuhan berdarah Ambon yang berkepanjangan sampai 2002, dan menelan ribuan korban tewas, luka dan kehilangan atap. Gus Dur mau menertawakan teroris, malah ditertawakan. Orang-orang itu masuk Ambon dari Surabaya. Pangdamnya di sana tak kuasa, atau tak mau bertindak. Humor Gus dibalas sinisme Pangdam. Dan mantan Pangdam itu sekarang menjadi salah satu petinggi di Jakarta. Sinisme Condy Rice Pekan lalu ada sinisme Condoleezza Rice. Menlu Amerika ini lihay bersilat lidah. "Tentara Amerika," katanya, "tidak membenarkan aniaya dan tetap menghormati hukum internasional. Penerbangan- penerbangan Amerika dilakukan seperti lazimnya". Media Eropa bingung. BBC Newsnight menganggap Condy membantah penerbangan gelap Amerika itu menyinggung kehormatan negara-negara Eropa. Sebaliknya, media Belanda, NOVA, menunjuk, Condy mengakui ada penerbangan gelap yang mengangkut tawanan Amerika. Hebat nian sinisme Condy. Sejak kasus Guantánamo dan Abu Ghraib, kita tahu, Condy bohong soal aniaya dan konvensi internasional tadi. Condy tidak bicara soal kedaulatan, karena penerbangan itu diketahui aparat intelejen negara- negara Eropa ybs. Tapi dia tidak bicara secara tegas soal penerbangan rahasia sejumlah tawanan yang diperiksa dan dianiaya secara rahasia, di tempat-tempat tahanan tang dirahasiakan di Eropa. Padahal di situlah intinya, dan itu pula yang disamarkan oleh Menlu Amerika itu. Papua & Timor Leste Soal sinisme yang menyamarkan kenyataan bukan gejala baru. Nasionalisme yang membuta juga seringkali menyamarkan kenyataan. Di Papua, nasionalisme Indonesia yang dikembangkan Dr. Sam Ratulangi dan Sugoro lambat laun pupus oleh keangkuhan Indonesia, disusul tipu daya Pepera 1969 oleh Orde Baru. Banyak negara Asia Afrika ikut menggugat menjelang Sidang Umum PBB 1962. Solidaritas Asia-Afrika baru (pasca-1955) yang menentang kolonialisme baru, menjadi lebih hebat lagi semasa Indonesia secara kejam menduduki Timor Timur. Tetapi – ini sangat komis, alias lucu - para pewaris Orde Baru mau pun para penentang Orde Baru di rantau beranggapan seolah-olah solidaritas Asia-Afrika 1955 selalu utuh tak kenal lekang, sehingga seluruh spektrum politik Indonesia merayakan nostalgila Asia-Afrika April 2005 yang lalu. Sinisme ini tidak malu malu untuk bersikap membuta terhadap hak hak rakyat Papua dan Timor Timur. (Orde Baru jelas tak peduli, tapi mengapa orang orang kiri dan nasionalis Indonesia di rantau tidak memperingati invasi Indonesia di TimTim 7 Des. yang lalu?) Bush vs Kennedy Kembali ke Irak. Perang Irak adalah sinisme negara-negara besar di kawasan strategis Teluk Parsi. Selama dua tahun, perang itu menelan korban lebih dari 10 kali lipat perang 30 tahun di Aceh. 100an ribu warga Irak dan lebih dari dua ribu tentara Amerika tewas. Awalnya adalah dalih adanya senjata pemusnah massal yang disimpan Saddam, yang ternyata bohong. Kemudian, targetnya, katanya, adalah "pergantian rezim" dan tujuannya "menghidupkan demokrasi". Ternyata, kedua istilah itu menjadi eufemisme untuk perang dan dalih untuk memperpanjang kehadiran tentara pendudukan, yang kewalahan menghadapi teror dan perlawanan. Lantas, pendudukan berubah jadi kejahatan perang ketika aniaya menjadi bagian dari rutinitas. "Aniaya sama saja dengan teror," seru sejumlah aktivis HAM Amerika. Yang menarik, dalam situasi keputusasaan George W. Bush tentang Irak dewasa ini, sejumlah mantan pembantu presiden Kennedy kini bertanya- tanya "What would JFK have done?" Apa yang akan dilakukan John Kennedy jika dia berada pada posisi George W. Bush? Ketika menghadapi Perang Vietnam awal tahun 1960an, situasi Vietnam mirip Irak dewasa ini. Meninggalkan komitmen membantu pemerintah Saigon dengan menarik bantuan militer? Tidak mungkin, sebab rakyat Amerika akan mencelanya. Melakukan Amerikanisasi terhadap Perang Vietnam dengan mengirim pasukan, seperti dilakukan Johnson belakangan? Tidak mungkin. Sebab, Amerika tahu, tentaranya tidak mungkin meraih kemenangan terhadap rakyat yang bertekad mengusir pasukan asing dari Vietnam. Umumkan saja Amerika sudah menang, lantas pergi. Tidak mungkin juga, sebab tak ada sedikit pun indikasi untuk memperlihatkan kemenangan Amerika. Mencari mitra runding? Juga mustahil, sebab tak ada pemimpin Vietnam yang bisa diajak kompromi. George W. Bush di tahun 2005 menghadapi situasi Irak serupa Kennedy menatap situasi Vietnam tahun 1963. Tapi Kennedy, presiden Amerika pertama yang mengirim pasukan tempur ke Vietnam itu, punya exit strategy, alias strategi hengkang. Bedanya Kennedy terbunuh, dan rencana hengkang itu berubah jadi tragedi perang Johnson, dan akhirnya tertunda 12 tahun. Bagaimana dengan Bush? Amerika dan pemerintah Irak yang didukungnya terjungkal di Falluja, setiap hari dihajar aksi teror dan perlawanan, tapi masih juga bernyanyi "membangun demokrasi". Scott- Burchill, pengamat tajam dari Australia, memastikan, Amerika tak akan hengkang dari kawasan strategis Amerika itu. Johnson akhirnya hengkang tahun 75, maklum, apalah yang mau diraih Amerika di Vietnam kecuali membendung domino komunis yang akhirnya juga gagal. Tapi bagaimana jika krisis energi dan industri melanda Amerika kalau Amerika hengkang dari Irak? Bush, dengan kata lain, terpaksa akan membangun imperium di kawasan Teluk. TNI hengkang Indonesia di bawah Orde Baru-nya Soeharto juga mau memaksakan sebuah imperium di Nusantara dengan mencaplok Timur Timur. Pekan lalu, tepat 30 tahun silam tentara Indonesia menyerbu TimTim dengan ganas. Pekan ini juga dokumen-dokumen rahasia Amerika mengungkap dukungan konsisten Amerika bagi pendudukan Indonesia di TimTim. Akhirnya tentara itu hengkang September tahun 1999. Di Aceh, tentara yang dianggap mengganggu rakyat, sebagian besar, akhirnya berhasil dipaksa hengkang lewat Kesepakatan Helsinki. Menyusul hengkangnya 'tamu-tamu' bersenjata yang tak dikehendaki, negeri-negeri itu menjadi lebih merdeka, lebih aman dan dapat menyambut prospek yang lebih demokratis. Tinggal untuk Irak, soal hengkang belum juga kadaluwarsa. Masih ada petualangan Amerika yang belum juga memahami makna solusi hengkang. Digubah dari kolom penulis Radio Nederland 9 Des. 2005

No comments: