Friday, September 30, 2005

Cipok ala TNI

Entah bagaimana etimologi, asal-usul kata itu, cium bibir dan seterusnya itu disebut “cipok”. Sekarang, kata itu jarang terdengar, meski, tentu, tak berarti jarang terjadi. Tapi, diam-diam, soal cium-mencium ini menjadi tanda-tanda zaman. Cipika dan cipiki, cium pipi kiri dan kanan di saat bertemu atau berpisah, menjadi kelaziman orang kota. Bahkan, di era digital ini, Anda bisa cipi-cipian teruuuus, setiap menit dan setiap jam, lewat “virtual kiss” yang tersedia di internet. Tapi, ketimbang cipokan maya, Anda pasti lebih suka cipi dan cipok beneran. Maka, soal cium-mencium pun jadi jamak di Indonesia. Ini cerita pergeseran suasana zaman. Di Prancis, yang, orangnya, bahasanya, bahkan sejarah politiknya, sering dianggap romantis, tak ada cerita cipika dan cipiki. Di Jerman, juga tak ada adat cipika-cipiki. Sebaliknya, di Belanda, mereka tak puas dengan dua kali cium pipi, tapi harus tiga kali -cipika, cipiki, dan cipika lagi. Baru baru ini, adat itu menjadi peristiwa nasional ketika Ratu Belanda Beatrix disambut cium tiga kali oleh seorang selebriti lokal. Di Lelystad, kota polder dekat Amsterdam, dia disambut penyanyi asal Maroko. Cium tiga kali sang penyanyi dan penari rapper tenar, Ali B kepada Ratu Belanda itu, menjadi simbol untuk mendorong re-konsiliasi multikultural, karena hubungan antar etnik di Belanda belakangan agak terganggu gara gara pembunuhan sineas Theo van Gogh oleh seorang ekstremis asal Maroko. Jadi, soal cium-mencium – sebagai isyarat keakraban, kehangatan dan kedamaian - rupanya cocok untuk dijadikan simbolik bagi tujuan-tujuan politik. Belum lama lalu, dalam kolom ini saya menulis betapa Soeharto, meski pun dia bekas diktator yang cemar, toh memperoleh cipi, cihi dan ciken - cium pipi, cium dahi dan cium kening, dari bekas kawan, bawahan, bahkan bekas lawannya, antara lain dari Wakil Ketua MPR A.M. Fatwa yang pernah dihukum Orde Baru belasan tahun penjara. Dan cium kening, diperolehnya dari presiden yang sekarang, Susilo Bambang Yudhoyono. Semua itu, merupakan isyarat – isyarat loyalitas dari yang mencium terhadap yang dicium, tapi juga isyarat kepada publik bahwa hubungan antara keduanya itu masih penting. Jadi, ada nilai nilai tertentu yang hendak disampaikan. Dengan kata lain, soal cium-mencium seolah-olah tidak hanya jadi bagian dari ranah publik, tapi sudah jadi bagian ranah politik. Nah, seorang prajurit TNI, Eko namanya, baru baru ini dengan spontan mencium pacarnya, Yuni, gadis Aceh berjilbab, saat keduanya berpisah di pelabuhan Krueng Geukeuh, Lhoksemauwe. Kontan media massa ramai. Majalah Gatra menyambutnya sebagai hal yang wajar dan memasang judul “Tentara, asmara dan air mata”. Tapi suratkabar popular di Belanda, De Telegraaf, mengangkatnya sebagai insiden yang menghebohkan. “Ada heboh seputar ciuman panas,” katanya. Memang, ada asmara yang menggelora, dan di permukaan publik, ada kemarahan. Tapi, yang paling menarik bagi saya, adalah sikap publik di sekitar adegan cipok itu. Prajurit Eko dan Inong Yuni, jelas, tak peduli dunia sekitar. Sebaliknya, publik sekitar amat peduli terhadap ulah pasangan tsb. Publik yang terdiri dari kolega-kolega Eko memandang Eko dan Yuni dengan penuh perhatian, ingin tahu dan mung-kin juga dengan cemburu. Mereka sama sekali tidak marah, malah amat toleran terhadap adegan privat di muka publik itu. Bahkan, publik tetap senyum ketika bos mereka, sang Pangdam, Mayjen Supiadin, memperingatkan prajurit Eko. Anehnya, reaksi reaksi yang muncul memperlihatkan kemarahan publik. Sang Pangdam marah, dan atas nama korpsnya, dia minta maaf kepada publik. Di kalangan TNI, ulah tsb rupanya sudah dianggap biasa, lumrah. Di Nisam, Aceh Utara, April 2004 saya pernah mewawancarai seorang komandan setempat, sementara di belakang di tangsi itu, saya dengar suara adegan panas, “lebih seru” ketimbang cipokannya Eko dan Yuni. Selain itu, jelas, toleransi dan wajah gembira para prajurit itu juga mencerminkan suasana perdamaian di Aceh, yang memungkinkan mereka pulang kampung. Maka, saya menyimpulkan, kemarahan Pangdam Mayjen Supiadin itu tampaknya cuma basa basi belaka buat publik lokal, bukan marah beneran kepada anakbuahnya. Jadi, cipokan Eko-Yuni adalah sebuah “pemberontakan kecil” terhadap polisi-susila. Apa yang terjadi tampaknya adalah semacam batu ujian: seberapa jauhkah cipok Eko-Yuni itu akseptabel untuk dilakukan di muka umum. Kalau di dunia Barat, batas itu makin hilang, di dunia Asia, harus diuji-coba terus sampai di mana batas toleransi publik. Tapi, jangan lupa, “pemberontakan” Eko yang beragam TNI, dan Yuni yang berjilbab itu, tak sulit mereka lakukan karena TNI punya privilese hanya tunduk pada hukum militer, jadi Eko pun akan bebas dari hukum cambuknya polisi Syariah. Lantas bagaimana nasib Inong Yuni yang ditinggal? Kok sang Pangdam, publik dan media massa diam sazha?

Sunday, September 25, 2005

Aceh, 'Persatean' 1965, dan NKRI

Oleh Aboeprijadi Santoso Ada yang aneh bin ganjil di bulan September 2005 ini. Kontroverse soal MoU (Memorandum of Understanding) atau persetujuan damai Acehdi Helsinki, 15 Agustus, mulai meredup menjelang akhir September -tepat 40 tahun Peristiwa G30S yang menghasilkan aib bangsa dantragedi kemanusiaan terbesar Indonesia. Namun, dalam pemberitaanmedia massa, soal Aceh dan Peristiwa 1965 tak pernah dikaitkan,seolah-olah samasekali tak ada hubungannya. Padahal, tanpa tragedi 1965-66, Orde Baru tak akan tegak. Tanpa OrdeBaru, kemelut Aceh tak akan separah itu. Dengan kata lain, adapelembagaan ideologi Orde Baru -`missing link' - yang menghubungkankeduanya. Kebanyakan kritik terhadap perdamaian Aceh kedengarannya munafik,dan mencerminkan schizofrenia dan paranoid yang melekat pada gayanasionalisme Indonesia masa kini.Banyak kekuatan politik dan publik takut, Aceh bakal lepas dari NKRImelalui partai lokal, padahal tahun 1950an kita sudah mengenalpartai-partai lokal tanpa meributkan soal kesatu-an. Ada yangkhawatir akan federalisme, padahal kenyataan negeri ini sudahsemacam semi-federal atau `negara kesatuan-pura-pura'. Lhaa, siapayang memberi otonomi, dan siapa dan bagaimana cara mengontrolotonomi di tangan 400an bupati (Suharto-Suharto Kecil) di seluruhNusantara tanpa mekanisme kontrol tertentu? Lagi pula, mana adapropinsi meraih 70% penghasilan daerah, yang bahkan di AmerikaSerikat ("mbahnya federalisme", dalam istilah Christianto Wibisono)pun mustahil. Ada pula yang tak bisa tidur, takut hantu Van Mook akan membuatIndonesia buyar, padahal Presiden Sukarno sudah lama mengubur mitositu dengan membubarkan RIS (Republik Indonesia Serikat) pada 1950.Ada yang cemas karena hak Aceh untuk menetapkan suku bunga dapatmengancam ekonomi Indonesia, padahal MoU tidak menyebut Aceh berhakpunya bank sentral sendiri. Lalu, ada yang cemburu, ingin otsus(Jawa Timur, Sulsel, Riau, Bali), padahal sudah disepakati hanya adatiga daerah istimewa/otsus – Yogyakarta, Aceh dan Papua. Kritik-kritik paranoid itu mengandung tiga unsur dasar yang sama. Pertama, ketiganya samasekali tidak mempersoalkan ihwal yang palingpokok bagi Aceh: perang dan damai. Artinya, mereka tak pedulikenyataan perang yang amat menyakiti Aceh mau pun kenyataan damaiyang amat didambakan Aceh. Ini bermakna mengabaikan kepentingan Acehyang dilanda dua macam 'tsunami': konflik dan perang ganas selama 29tahun yang melibas kehidupan dan hak-hak asasi rakyat sipil Aceh,dan musibah alam tsunami. Para pengritik MoU tak mau menarik pelajaran berharga bahwaPerdamaian Helsinki merupa-kan upaya damai - suatu solusi politikdiikuti de-militarisasi - yang pertama dalam sejarah Indonesia dalammenyelesaikan masalah regional dan separatisme. Bagi Indonesia pasca-Suharto yang terbebani warisan Orde baru,solusi Aceh itu amat penting dan dapat merintis perubahan bagiIndonesia. Sebab, untuk kali pertama, terjadi de-militarisasi yangsignifikan (dari 41.000 menjadi 14.000 TNI) di sebuah daerahkonflik. Dalam hal ini, kesediaan TNI dan Brimob untuk mundur, danGAM untuk menyerahkan senjata, layak dihargai. Lalu, apakah parapengritik itu juga tak peduli sambutan positif rakyat Aceh sejauhini, selama bulan pertama penyerahan senjata GAM dan penarikan TNInon-organik dan Brimob? Kalau tidak, ya "silahkan kalau mau perangsendiri," ujar Jusuf Kalla, perintis Helsinki, mengingatkan secaraimplisit bahwa Megawati-lah yang mengingkari janji untuk tidakmeneteskan darah di bumi Tanah Rencong. Kedua, menginginkan otsus seperti Aceh menandakan bahwa parapengkritik MoU tidak memahami daerah-konflik seperti Aceh dan Papua.Menuntut keistimewaan otsus Aceh berarti melupakan kenyataan pokokbahwa Aceh sebenarnya tak pernah menikmati "keistimewaan" itu.Mereka melupakan luka pertama Aceh ketika PM Ir. Djuanda pada 1952menjadikan Aceh bagian propinsi Sumatra Utara. Pemerintahan Djuandamengingkari janji dan tangis Presiden Sukarno di muka Abu DaudBeureu'eh dalam pertemuan historis di Hotel Atjeh di Kuta Radja pada1948. Aceh menderita justru karena "keistimewaan"nya tidak istimewa,dan disusul ketimpangan bagi hasil sumberdaya dan konflik berdarahyang panjang. Singkatnya, orang lupa bahwa Aceh telah menderita kerugian besarsecara material dan bathin semasa Orde Baru. Hanya satu kritikmenohok secara tepat: Kwik Kian Gie menyebut MoU itusemacam "pampasan perang" – analog dengan Jepang pasca PD-II - yangharus dibayar Jakarta kepada Aceh. Sayang, Kwik lupa, selainmembayar pampasan, para penjahat perang Jepang diseret ke TribunalTokio. Lalu, bagaimana dengan penjahat HAM Jakarta semasa DOM (1989-1998) dan setelahnya? Ketiga, kecuali kalangan TNI, kritik-kritik itu lupa bahwa MoUHelsinki dapat mengancam bisnis militer, yang selama ini merugikankas negara karena menguasai sektor ekonomi informal - daripembalakan liar, penyelundupan sampai perdagangan ganja di Aceh -yang bakal terdesak di bawah pemerintahan-sendiri Aceh kelak. Namun, paling menarik, kritik-kritik terhadap MoU pada dasarnyabersumber dari persepsi ideologis warisan Orde Baru, yang utamanyamelihat NKRI sebagai entitas teritorial, dan, karena itu, masalahAceh dilihat sebagai masalah teritorial, ketimbang sebagai masalahkeadilan, hak dan identitas lokal. Dalam bahasa sederhana: Orde Barusuka (hasil bumi) Aceh, tapi tak suka orang Aceh (idem dito Papua). Akibatnya, masalah Aceh selalu dilihat sebagai soal TNI versus GAMbelaka. Menarik, hal ini bahkan diakui oleh Wiryono S, diplomat RIyang berunding dengan GAM pada 2002. Obsesi dan paranoide teritori itu, selain merujuk pada kepentingannegara pada hasil bumi dan sumberdaya daerah, pada dasarnya,bersumber dari pengkeramatan - sakralisasi - yang terjadi padalembaga negara di bawah Orde Baru. Negara dan segala atributnya,simbol, kelembagaan, kepemimpinan, aparat, termasuk wilayah, telahdikeramatkan. Bahkan amandemen konstitusi tak boleh melebihi 37pasal karena UUD 45 pasalnya sebanyak itu. Di bawah Suharto, negaraotoriter militeristis, pada 1980an, cenderung totaliter denganmembangun hegemoni, yang hendak dilestarikan dengan mengkeramatkan atribut-atribut negara. Pengkeramatan atribut, simbol dan misi alat negara - "Dari Sabang sampai Merauke", Panca Sila, UUD 1945 dst - menjadi mantra-mantradari doktrin dan dogma Orde Baru yang menciptakan sebuah konstruksidan wacana bernama "NKRI" - bukan negara kesatuan RI yang dicintaipara warga pecinta dan patriot Indonesia, melainkan suatu wacana –alur-alur berpikir - yang mengutamakan kesatuan teritori sebagaiprimat di atas segalanya – bahkan, juga di atas keselamatan dankebahagiaan manusia dan kelompok-kelompok bangsa, demi kesatuan danjati-diri yang seragam dan tunggal. Akibatnya, misalnya, panji-panji seperti "Cinta Damai Tapi LebihCinta Negara Kesatuan" di tengah konteks Aceh yang dilanda konflikdan tsunami, telah membuat orang Aceh bosan dan kesal, sehinggaretorika itu menjadi hampa dan kontraproduktif. Ini saya saksikan diMeulaboh dan banyak tempat di Aceh pasca-tsunami. Idem-dito pos-posmiliter sepanjang jalan raya Medan-Banda Aceh semasa Darurat Militer2003-04. Walhasil, mantra-mantra "NKRI" yang doktriner itu menggembosipatriotisme Indonesia. Ironis, bukan, bahwa orang menyangka bahwa,dengan mudah curiga dan berseru "berantas separatisme", akanmenciptakan patriot-patriot. Persis kebalikannya, itu malahmenggembosi persatuan karena retorika itu samasekali tidak menjawabprotes-protes sah terhadap kesewenangan dan ketidakadilan mau punmasalah-masalah daerah. Bukankah Bung Hatta pernah memperingatkan, janganbiarkan "persatoean" ini menjadi "persatean". Ternyata, persateanbesar 1965-66 malah melahirkan Orde Baru dengan hegemoni ideologisdan pengkeramatan negara itu, yang ekornya kembali menghasilkansejumlah persatean lain di Timor Timur, Aceh dan Papua.Orde Baru - tepatnya TNI/ABRI, Seskoad, Kodam Siliwangi sejak 1964 –sudah menyiapkan paradigma sendiri, dengan menggusuristilah "buruh", "Tionghoa", "demonstrasi", "revolusi", danmenggantinya dengan "karyawan", "Cina", "unjuk rasa", "pembangunan",dsb. Di bawah hegemoni Orde Baru, istilah-istilah itu bukan sekadarsemantik, melainkan bagian dari pembentukan wacana, alias alur-alurberpikir politik, secara totaliter. Lahir dan berkembang-nya maknasuatu kata dan konsep, menurut filsuf Wittgenstein, sesuai asasverbal valent usu - makna pemakaiannya – adalah suatu 'game',permainan, yang sangat dipengaruhi konteks sosial-politik, apalagidi bawah rezim cenderung totaliter. Begitu juga konsep yang menjadi legitimasi masa kini, yakni "NKRI".Orang lupa, negara ini lahir tahun 45 sebagai R.I, republik yangsatu, bersatu dengan makna persatuan, bukan kesatuan. Orde Baru-lahyang memperkenalkan wacana "kesatuan" yang bermakna unit ataukesatuan dalam bahasa militer - bukan "unity" atau "united" dalamarti persatuan seperti dimaknai oleh Soekarno dan Hatta dan generasipendiri republik ini. Konsepsi "kesatuan" untuk menggantikan nilaipersatuan sebagai perekat negara, hanya terjadi semasa Orde Baru. Walhasil, berkat wacana totaliter Orde Baru, berkat orientasiteritorial yang menggantikan orientasi kemanusiaan dan keadilan,setiap aspirasi kedaerahan mudah dianggap "separatis", akhirnya,lahirlah separatisme beneran, yang dijawab dengan persatean. Tapi,karena sang aparat merupakan bagian dari mantra keramat danmempunyai misi menjaga kesatuan yang keramat, maka segala persateankeji demi misi yang keramat itu pun menjadi benar. Dari sini-lah lahir impunitas bagi semua pelanggaran HAM – di TimorTimur 1999, Abepura, Papua, 2000, di Aceh semasa DOM dst.Menteri Pertahanan semasa Presiden Gus Dur, Mahfud, pernahmengungkap adanya 'deal' bahwa, pasca 1998, para jendral itu setujusaja demokratisasi, asal mereka tidak dihukum karena pelanggaran HAMdi masa lalu di saat bertugas "demi NKRI". Gus Dur sendiri akhirnyaterjungkal, antara lain, karena dicurigai membahayakan kesatuanteritorial NKRI. Jadi, "NKRI" tidak lagi merujuk pada negara kesatuan, melainkanmenjadi legitimasi bagi suatu rezim. Konsekuensinya, Suharto selamatdari sanksi hukum karena rezimnya-lah yang mengkeramatkan misikeramat aparatnya "demi NKRI". Tepat, Sobron Aidit menyebutSuharto "diktator paling beruntung dan berbahagia". 'Deal' serupaterjadi di Cile, tapi setelah beberapa tahun dicabut parlemen danAugusto Pinochet kini mulai digugat atas kejahatan HAM rezimnya. Sakralisasi alat dan atribut negara adalah bunga-bunga, dan bagian,dari nasionalisme. Ben Anderson menunjuk, nasionalisme adalahideologi yang "tidak memiliki ideologi", maksudnya, bisa dipakaioleh siapa saja, dari sayap kiri sampai kanan. Kita melihat NKRItidak hanya menjadi mantra Orde Baru, tapi juga didukung parapenentang Orde Baru, termasuk banyak kalangan sayap kiri di dalamdan luar negeri. Saya pernah terkejut, mendengar beberapaorang "klayaban" berbicara soal Aceh, sama galaknya dengan JendralRyamirzad Ryacudu dan PDI-P. Dalam istilah Pramoedya Ananta Toer,ini namanya ironi "Orde Baru Baru". Dengan kata lain, orang gagal memahami bahwa "NKRI" - yaituIndonesia sebagai unit militer yang berideologi dan berjati-diritunggal dan seragam - adalah bagian dari wacana totaliter.Akibatnya, secara intelektual, mereka pun terjebak menjadi pendukungOrde Baru, meski retorikanya bisa saja sebaliknya. Mengenang 40 tahun G30S, dengan tragedi persateannya, adalah sebuahironi tersendiri. Peristiwa itu belum terbongkar tuntas, stigmanyamasih tersisa kuat, rehabilitasi hak-hak sipil para korban tetapterabaikan, dan tragedinya tak pernah diakui resmi sebagai aibbangsa - semua itu tersimpan menjadi trauma dan amnesia publik.Tanggal 1 Oktober boleh saja diresmikan sebagai Hari Kesaktian PancaSila (lihat pengkeramatan lagi), tapi konsep `kesaktian' mencerminkan suatu kemenangan, bukan suatu pengakuan negara atas tragedi bangsa yang harus diselesaikan. Upaya damai Aceh adalah sebuah halaman baru dari perjalanan panjangsejak persatean besar 1965-66, yang memungkinkan hegemoni ideologinegara Orde Baru. Reaksi-reaksi terhadap Persetujuan Helsinki adalahsalah satu imbasnya. Panjang nian, memang, ekor itu … Sumber: digubah dari kolom penulis, Radio Nederland, 23 sept. 2005 http://www2.rnw.nl/rnw/id/spesial/kolom_ranesi/kolom_as_aceh_1965_050922?

Wednesday, September 14, 2005

Aceh 1998 - 2000: biarkan seribu bunga mekar (let thousands of flowers blossom) ... Posted by Picasa

Aceh ... DOM, DM, lalu? Posted by Picasa
Aceh, ... sudah berlalu? Posted by Picasa

Pangdam I.M. Brigjen Supiadin & bekas tokoh GAM Amni Marzuki Posted by Picasa

Imbalan Ragam Buat GAM, Siapa Peduli Kiri?

Imbalan Ragam Buat GAM, Siapa Peduli Kiri? (Coming up at www.ranesi.nl, klik jelajah nusantara) Nota Kesepahaman Helsinki, 15 Agustus yl, tidak hanya menjanjikan perdamaian bagi Aceh, namun juga macam macam imbalan bagi para bekas anggota Gerakan Aceh Merdeka GAM. Amnesti diberikan, reintegrasi diupayakan, dan lahan-lahan pertanian disediakan bagi GAM. Tapi GAM hanyalah salah satu dari kekuatan yang pernah menjadi musuh sengit Orde Baru. Bagaimana dengan bekas musuh serta para korban Orde Baru lainnya, khususnya bekas sayap kiri Indonesia yang terdampar di Eropa? Mereka yang oleh Gus Dur disebut “pejuang kemerdekaan klayaban” semuanya menyambut gembira kedamaian di Aceh, namun menggugat amnesti dan imbalan tsb, sebagai “tidak adil”. Cut Husein Fatly, 85 th, salah satu pendiri Partai Komunis Indonesia Cabang Aceh (1956), kini di Amsterdam, mengingatkan, “kami-lah korban pertama (Orde Baru). Sejuta dari kami tewas… Tak seujung rambut pun orang boleh mengganggu dari Sabang sampai Merauke karena rakyat Aceh ikut Revolusi 1945 itu,” katanya. Tom Iljas, 66 th, bekas mahasiswa di Beijing asal Painan, Sumatra Barat, kini terdampar di Stockholm, Swedia. Amnesti dan imbalan bagi GAM itu, bagi kami “menyakitkan,” ujar Tom yang pernah ikut berkampanye melawan pemberontakan PRRI di Padang. Seperti ratusan rekannya, Tom Iljas kehilangan paspornya. Hak hak sipil mereka dicabut sejak Presiden Gus Dur gagal mengupayakan pemulihan hak hak tsb pada 2000. “Itu gara gara Yusril (Menteri Kehakiman & HAM semasa Gus Dur, Yusril Ihza Mahendra),” jelas Wijanto, eksil di Woerden, Belanda, yang juga ahli hukum, yang mengatakan bahwa Yusril tidak menindak-lanjutinya, meski pun dia (Yusril) mengakui bahwa pencabutan paspor mereka itu tidak sah”. Pencabutan paspor tsb terjadi sejak April 1966 (setelah Surat 11 Maret 1966) ketika para Atase Militer RI mengambil-alih Kedutaan Besar RI di Cina dan di negara negara Blok Soviet. Mereka yang menolak menandatangani kesetiaan pada Jendral Soeharto sejak itu kehilangan hak hak sipil mereka – sampai sekarang. Francisca Fangidaey, 80 th, eksil di Zeist, Belanda, mengharapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, paling sedikit, membuka dialog dan merehabilitasi hak hak mereka. Ibu Sisca, pejuang militan di tahun 1940an, menyambut perdamaian di Aceh, tetapi “kaget”, merasa haknya diingkari ketika mendengar GAM diberi amnesti. “Soal soal yang lain, tentang hak partai atau harta benda kami, itu soal kedua, tidak penting. Yang utama, paspor dan hak hak kami!” Dengarkan suara mereka dalam program kami Jelajah Nusantara (Klik www.ranesi.nl). Sobron Aidit, eksil di Paris, penyair dan adik Ketua PKI D.N. Aidit, menunjuk, “kami ini diperlakukan bukan sebagai orang. Kami belum jadi orang, bung! Ke Indonesia itu tidak merasa mudik, tapi datang,” katanya. Menurut Sobron, dengan sendirinya hak hak kami harus dipulihkan semuanya, paspor, harta benda sampai hak berpartai. Dengarkan suara Sobron Aidit dalam Jelajah Nusantara (Klik www.ranesi.nl)

Monday, September 12, 2005

Outdated symbols, justified spirit Posted by Picasa
Watch "mereka yang bertaring" (those with extra teeths); in East Timor they used those bastard teeths as "proxies" and called them "the militias"...! Posted by Picasa

Sunday, September 11, 2005

My best ally - not least for Amsterdam-Hilversum vice versa Posted by Picasa

Saturday, September 10, 2005

Aceh deal left the Left out in the cold

http://groups.yahoo.com/group/indonesian-studies/message/4782 http://groups.yahoo.com/group/indonesian-studies Aceh deal left the Left out in the cold By Aboeprijadi Santoso, Amsterdam. The amnesty offered to GAM (Free Aceh Movement) rebels following theHelsinki peace accord - indeed, that accord itself - is a case of reconciliation between post-authoritarian Indonesia and one former adversary. For the first time, a deal has been stroked with one of New Order's fiercest enemies and victims. However, Suharto political machinery's biggest victim is still the forgotten political left ofthe sixties - at home and exiled. In Europe, the exiles are at pain to learn that GAM rebels, who had fought against the state they helped found, defend and still love, have received amnesty and regained civil rights, which they could only long for. "No one should touch the existing state of Indonesia from Sabang toMerauke because the Acehnese were not spectators, but took part inthe revolutionary struggle of 1945," said `Bahrum Salman'. Bahrum's real identity, he disclosed to Radio Netherlands, is Cut Husein Fatly of Tapaktuan, one of the three Acehnese who set up the first Aceh branch of Indonesian Communist Party (PKI) in 1956. His comrades were killed in the mid-sixties as were his wife and 11 other women in whatwas known as Aceh Gerwani (PKI women movement) massacre. Cut left for China in 1964 and moved to Amsterdam in 1980. At 85, he retains his nationalistic fervor, helps promoting Indonesian dances in Europe and proudly celebrated the 60th independence-day at the Ambassador's residence in Wassenaar. For Cut, Hasan M. di Tiro's GAM is no different from Daud Beureu'eh's Darul Islam. "They wanted to change this state, so I resisted." Like the late poet Agam Wispi, he belong to the old guard of Acehnese defenders of Indonesian nationalism. Given the agony they went through since 1965, virtually all exilespredictably find Jakarta's deal with GAM "unjust" to them. Said CutHusein, "we were the first victim (of the Army). A million of us hadbeen killed!" He welcomes the peace, but warns "don't let theAcehnese be intimidated by the GAM and killed by the Army. Let them think freely." Tom Iljas, 66, another exile from West Sumatra living in Stockholm,is also upset. A young man from Painan, he joined campaign against the PRRI regional rebellion in the mid-fifties. The local authorities were impressed and recommended him for a scholar-ship to study inChina. His only "sin" was apparently that he joined the pro-Sukarno student organization (PPI) in Beijing – thus, he lost his Indonesian citizenship. As GAM rebels returning to the society with some rewards, Tom said, he welcomes the peace "with pain". "I'm jealous because they took arm, yet become normal, respectable citizens. We didn't take arm,(but) our rights were robbed without being tried. No rebels were treated like us. Look at (PRRI leader Col.) Ahmad Husein, the state facilitated his business." An Indonesian diplomat in Stockholm said "may be you should first take arm and rebel." That's "a cynical joke," said Tom, who often met with GAM leaders in the city but keeps a distance because "we are on different sides." Francisca Fangidaey, 80, another exile with undoubted patrioticcredentials, is "astonished" about Jakarta's deal with GAM. Itmeans, "we, the exiles, are regarded as traitors, that hurts medeeply." A Dutch educated Floresian woman, who "felt Dutch andthought completely in Dutch (when the Dutch ban Malay)," Francisca said, "the first Indonesian words I learned were Bung Karno, BungHatta and merdeka (freedom)." She became a heroin of independence waras she joined young militants in Java and sought supports abroad.Now living in Zeist, the Netherlands, Ibu Sisca hopes President Susilo Bambang Yudhoyono administration will bring changes. "Openinga dialog and returning our passports are the least he should do tous," she said, adding that other issues like indemnification and political party are "of secondary importance". The agony of being left out in the cold is related to the Cold Warthat is apparently far from over at home. At the same time, unlike the GAM, they have nothing to bargain with – no arms, no guerilla's,no territory, no homeland, no tsunami. It's a hard reality for the exiles, whom President Abdurrachman `GusDur' Wahid once called "the wandering freedom fighters". As the three cases above show, they are remaining loyal and emotionally attached to their country, but have practically lost a homeland and theircivil rights at that. It reflects the traumatic legacy of the mid-sixty killings and persecutions that remains unresolved. A few hundreds of exiles across Europe lost their citizenships upon refusing to sign loyalty to Gen.Soeharto, April 1966, after the military attaches took over R.I.embassies in China and former Soviet bloc. Most R.I. presidents had since asked them to return home, with Gus Dur being the only one, whotried to help them regain their rights, but failed. "That's because of Yusril," said Wijanto, an exiled lawyer in Utrecht, the Netherlands, pointing out that then Minister of JusticeYusril Ihza Mahendra had actually obstructed President Gus Dur's instruction despite Yusril's own acknowledgment that the revocation of their passports was unlawful. Meanwhile, critics said, leftwing exiles tend to be more interestedin their own issues. While enthusiastic about Asia-African solidarities during the sixties, they oddly took for granted NewOrder's brutal occupation of East Timor – except a few like Umar Said and J.J. Kusni in Paris, who helped found Europe's first pro-Timor movement. Thus, a narrowed nationalistic spirit among many has misled "patriotic" views on East Timor, Aceh and Papua. Ironically,this has strengthened the very discourse of the New Order apparatuses that continue to frame and perceive the problems in terms of separatism, territorial integrity and war. In reality, the issues reflect a complex nexus of injustice, human dignity and collective identity - in addition to vital resources. Just as it is a principled matter to respect the legitimate rights ofall New Order victims, it's important to review the discourse of state-nationalism as a legacy of Suharto's New Order. One needs, that is, to conceptually deconstruct the N.K.R.I.discourse – the unitary state with the "K" from Kesatuan (unit) being the militaristic-turned-sacred concept – in order to revive the original, pluralist discourse of "R.I" (Republic of Indonesia) that gave birth to this nation-state sixty years ago. The writer is a journalist with Radio Netherlands.

PPI Belanda - Commemorating Munir -A Release

http://www.ppibelanda.org/index.php?option=com_content&task=view&id=22&Itemid=1

PPI Belanda

Commemorating Munir -A Release Thursday, 08 September 2005

The one-year commemoration of Munir’s death was held by the Indonesian Students Association (PPI) in the Netherlands at LAK Theatre (Lipsius Building), Leiden University. At 3.15 pm local time, the event started with the screening of the documentary “Garuda’s Deadly Upgrade” created by Australia’s SBS and Indonesia’s Off Stream.

It was attended by around 100 people. The audience was composed of Indonesian students from different cities in the Netherlands and Europe, the Indonesian community in the Netherlands, some Indonesian activists, as well as some Dutch and other foreign students.

After the documentary show, a panel discussion took place. Five speakers took part in a one-hour presentation and discussion. Farah Karimi, a member of the Dutch Parliament from GroenLinks, stated that the Dutch government should share responsibility in solving Munir’s assassination case. “This [tragedy] is a great dismay, not only for the Indonesian people, but also for the Dutch,” said she.

According to Karimi, the reason the Dutch government should also bear responsibility to help unravel this case is not merely due to the historical tie between the two countries. “Since it is a human rights issue, even in normal situation it is still important for the Dutch to pay attention to this case.” Karimi continued that Munir’s murderer must be found; all who are responsible for the killing must be punished. “Impunity may not win,” stated Karimi. In her capacity as a parliamentarian, Karimi promised to monitor the case very closely and asked the audience to keep informing her about the development of this case so that she could put pressure on the Dutch government.

Gerry Van Klinken, a researcher and an editorial advisor for Inside Indonesia noted that Munir was the only single person who could change public opinion in Indonesia toward the Indonesian army (TNI). It was Munir who fought relentlessly to expose the kidnapping of activists during the 1997 -1998 period by some members of the Indonesian Special Army Force (Kopassus). At that time, a military court finally sentenced two generals, one of which is now being suspected to have connection to Munir’s assassination.

In addition, Gerry expressed optimism that the real perpetrators behind Munir’s death would eventually be prosecuted. He specifically referred to the case in Chile in which Pinochet was promised immunity from prosecution under Chilean law. However, current development showed that even the General could not evade punishment forever.

The third speaker was Agung Putri, an activist from ELSAM (Lembaga Studi Advokasi Masyarakat). She praised Munir as a human rights activist who knew when to seize the opportunity to advance human rights cause. She pointed out the work of Munir to reopen the Tanjung Priok case, which after almost 15 years remained unresolved. Putri testified, “Munir was a very humble person, even though he was already considered a celebrity.” During her work, however, she disagreed with the way Munir looked at human rights violation cases, i.e. mainly from a legal point of view. “In analyzing human rights cases, socio-economic and political aspects must also be considered,” said Putri.

Further, she suggested that the investigation on Munir’s death should start to pay more attention to civilian institutions, i.e. Garuda Airlines. “I believe a more thorough scrutiny on Garuda is crucial,” asserted Putri.

Another speaker, Arnold Kohen from the International Humanitarian Project, Washington, D.C., proposed that people around the world should work harder in carrying out international campaign to assure significant progress in Munir’s murder case. He agreed with van Klinken on the issue of impunity in that in today’s cyber world, international solidarity was much easier to establish and maintain; and thus, impunity to repudiate. He suggested that to keep up the pressure on the Indonesian government to solve the mystery surrounding Munir’s death, global networking with the means of the Internet was essential. “At the end of the day, you could get more things done.”

The last speaker, Aboeprijadi Santoso, brought up some topics that until now only circulated among journalists. Santoso claimed that there might be actors other than Pollycarpus whom should also be investigated. He pointed at four passengers with false identity on board Garuda 974 who might present new findings to solving Munir’s murder case. Quite in contradiction, Santoso also said that the new government led by Susilo Bambang Yudhoyono would face difficulty in unraveling this case. “[Susilo Bambang Yudhoyono] is relying too heavily on Syamsir Siregar (now the head of BIN) who may be competent, but can do nothing much inside the National Intelligence Agency (BIN), because he’s a new guy there,” said Santoso.

The event ended with the reading of an open statement by the Indonesian Student Association (PPI) in the Netherlands. The open statement was also signed by Inside Indonesia, KONTRAS (the Commission for Disappearances and Victims of Violence), several Dutch parliamentarians, Stichting Sapu Lidi, several NGOs, and other participants who demanded a deeper investigation to reveal the mastermind behind Munir’s assassination.

Leiden, September 5, 2005PPI Leiden

Desivilisasi New Orleans dan Sivilisasi Aceh

Desivilisasi New Orleans dan Sivilisasi Aceh Kolom Aboeprijadi Santoso, 9 September 2005 Seorang sejarawan Inggris baru-baru ini menulis dalam harian The Guardian tentang apa yang disebutnya “decivilization”. Timothy Garton Ash mengingatkan dalam kolomnya agar dunia Barat janganlah takabur. Apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan desivilisasi itu? Desivilisasi New Orleans Menurut Timothy Garton musibah Katrina membuat kita semakin insyaf bahwa di bawah lapisan keberadaban kita, sebenarnya ada kebiadaban tersembunyi. Sesekali, dia muncul, seperti di kala musibah di New Orleans. Tidak hanya itu, katanya. Bukankah penjarahan, pemerkosaan, dan teror bersenjata yang terjadi di New Orleans itu, juga terjadi di Eropa yang manis dan beradab ini? Baru 60 tahun silam, kita menatap Tragedi Besar Holocaust, kebiadaban di Napoli tahun 1944, dan baru 10 tahun lalu kita menyaksikan tragedi serupa di Bosnia. Maka dia menyimpulkan: Eropa yang sekarang ini sebenarnya adalah produk dari sejumlah musibah buatan orang, man-made disasters. Yang menarik, sejarawan ini tidak merumuskan ‘peradaban’ itu sebagai suatu keadaan yang statis dan final, di suatu tempat, di suatu saat, belaka. Peradaban atau “civilization”, baginya, adalah suatu proses besar. Jadi, kebalikan dari peradaban bukan “kebiadaban”, melainkan proses kebalikannya, yaitu “de-civilization”. Kita sebut saja “desivilisasi”. Dengan kata lain, desivilisasi adalah rentetan kejadian dan kehidupan tak beradab, yang terjadi akibat musibah alam mau pun musibah politik alias buatan manusia. Dalam proses desivilisasi itu, manusia berhenti menjadi manusia, dan berubah menjadi biadab. Tapi proses aib ini bukan sesuatu yang banyak absen, dan cuma sesekali muncul, melainkan selalu hadir - dia hadir di bawah selaput keberadaban yang manis itu. Timothy Garton Ash, tentu saja, berbicara semata-mata tentang peradaban Barat dan membanding-bandingkan antar kasus di dalam ranah peradaban Barat menyusul tragedi banjir pasca-Katrina di New Orleans. Tetapi, tanpa disadarinya, sebenarnya dia berbicara tentang aib-aib besar Orde Baru dan pasca-Orde Baru – sejak Tragedi Besar 1965-66, Timor Timur, Aceh, Mei 1998, tapi juga musibah tsunami dst. Badai Katrina sudah banyak diramalkan, penguasa setempat sempat mengevakuasi ratusan ribu penduduk tepi pantai dua hari menjelang badai. Tanpa disangka, lima hari kemudian bendungan-bendungan jebol, dan datanglah air bah yang melanda ibukota New Orleans. Inilah yang mengakibatkan musibah kemanusiaan yang besar, yang menelan puluhan ribu jiwa. Padahal, empat tahun silam, majalah ilmiah-populer American Scientists sudah memperingatkan semua itu dalam artikel berjudul “New Orleans: A Disaster Waiting to Happen” yang terbit tahun 2001. Nah, kegagalan suatu negara maju untuk mengatasi musibah itulah yang mengungkap dampak berbentuk kebiadaban di Amerika itu – mulai dari perintah tembak di tempat, penjarahan, pengabaian dan penelantaran penduduk hitam dan miskin itu, dsb. Desivilisasi di Amerika ini tidak hanya menyengat isu politik dalam negeri Amerika, tapi juga menyengat perhatian dan pertanyaan dunia – bagaimana musibah dan aib itu bisa terjadi di negara terkuat, termaju dan terkaya di jagad ini? Sivilisasi Aceh Tsunami di Aceh dan Asia Tenggara, juga datang setelah musibah lain, yaitu gempa hebat yang mengundang orang mengeruk ikan-ikan yang terdampar di pantai, yang kemudian disusul gelombang tsunami yang menyapu manusia dan masyarakat pantai. Tiga minggu setelah musibah, saya menyaksikan dampaknya di pantai barat daya Aceh, antara Blang Pidie dan Meulaboh, juga di Banda Aceh dan Lamno. Di Aceh, tak ada perintah tembak setempat, bahkan tentara yang seringkali dimusuhi rakyat, malah turun tangan pertama kali untuk membantu para korban. Tentu, juga ada gejala penjarahan, oleh tentara, polisi atau pun warga. Juga warga memanfaatkan situasi dengan menaikkan harga obat-obatan dan pangan. Akan tetapi, desivilisasi semacam di New Orleans tidak terjadi. Yang terjadi, malahan semacam penyadaran, yaitu munculnya suatu kesadaran baru. Refleksi dan tanggapan yang populer dan meluas adalah menyalahkan diri sendiri. Tsunami, kata mereka, adalah karunia, atau hukuman Tuhan karena macam-macam ulah kita yang tidak pantas, katanya. Tentu saja, dunia tidak berputar karena pola sikap yang normatif seperti ini. Tetapi yang terjadi pasca-tsunami di Aceh bukanlah desivilisasi, melainkan justru sivilisasi – artinya, sejauh musibah itu membangkitkan refleksi, pemikiran serta kebangkitan baru dari masyarakat untuk menghadapi tantangan dan menempuh hidup baru. Sivilisasi Aceh yang amat berkontras dengan desivilisasi New Orleans ini tampak di kalangan muda. Seorang siswi SMP Meulaboh menjelaskan pada saya mengapa dia merasa perlu menghadapi kehidupan secara lebih serius, karena makna tsunami, katanya, adalah mengukur dosa dan berbagi sanksi Allah. Seorang penyiar radio, juga di Meulaboh, kehilangan seluruh sanak keluarganya, namun dia bangkit dengan tegar, lewat siaran-langsungnya, dengan cara bersilahturahmi dengan masyarakat dan mengajak para korban bangkit. Di Banda Aceh, sebuah komuniti membangun kebersamaan di Ullee Lhue tanpa menantikan inisiatif penguasa lokal, dsb, dsb. Tapi seperti dikatakan di atas, sivilisasi mau pun desivilisasi adalah proses, dan keduanya hadir, meski tidak selalu menggejala secara serentak. Sivilisasi di Amerika ternyata diselingi desivilisasi di New Orleans, sedangkan sivilisasi di Aceh pasca-tsunami menjadi selingan dari desivilisasi dari (pasca)-Orde Baru di Indonesia. Apalagi, bagi negeri seperti Aceh, batas antara dampak musibah alam dan dampak musibah buatan manusia, akhirnya, hanya tipis belaka. Sehingga yang tersisa adalah kerinduan akan damai yang memacu kebangkitan. Walhasil, luluh-lantaknya Aceh, yang bermusibah-ganda, baik musibah alam, gempa, banjir dan tsunami, mau pun bencana politik dan kemanusiaan semasa DOM dan konflik 30 tahun itu, adalah produk dari dinamika sivilisasi dan desivilisasi. Untuk sebagian, Aceh menjadi cermin dari desivilisasi Orde Baru. Perdamaian Aceh di Helsinki, menurut Kwik Kian Gie yang baru baru ini bertamu ke Radio Nederland, adalah semacam pampasan perang yang harus dibayar oleh Indonesia akibat kesalahan pusat dan kejahatan tentara di masa lalu. Tapi, Kwik lupa mencatat bedanya: selain bayar pampasan, para jendral Jepang dihukum oleh Tribunal Tokyo, sedangkan di Indonesia para jendral tetap menikmati impunitas - sekali pun pernah terjadi kejahatan perang di TimTim dan Aceh. Jadi, di mana pun juga, desivilisasi harus selalu dibayar atau diimbangi dengan sivilisasi – baik di Aceh maupun di New Orleans. © Radio Nederland Wereldomroep, all rights reserved