Monday, October 17, 2005

Perang & Damai Gaya Aceh

TEMPO Edisi. 34/XXXIV/17 - 23 Oktober 2005 Kolom Perang & Damai Gaya Aceh Aboeprijadi Santoso · Wartawan Radio Nederland, kini di Aceh TEUKU Abeuek, Uleebalang (Ketua Wilayah) di Pameue, Aceh Barat, sudah lama jadi sumber kekesal-an penguasa Hindia-Belanda pada 1920-an. Dia dicurigai membantu logistik pemberontak, tapi selalu pintar mengelak tuduhan. ”Mengapa Teuku membantu orang-orang muslim dengan memberi makan?” Sang Teuku menjawab, ”Tuan harus mengerti, di Aceh tak seorang pun tamu keluar dari rumah dengan perut lapar. Itu adat Aceh. Saya wajib menghormati tamu dengan menyuguhkan nasi.” Berulang kali interogasi semacam itu terjadi, berulang kali Belanda kena batunya. Menolak alasan si Teuku bisa dikira tak peduli adat. Padahal, pemerintah kolonial tegak justru dengan cara dan legitimasi menjunjung adat. Pernah Tk. Abeuek menyindir dengan lembut: ”Tuan musti tahu, di negeri kami, para musafir kami ukur jarak dan lamanya mereka bepergian. Saya tak boleh ber-tanya apa dia seorang muslimin (pemberontak), apa bukan. Tapi, sebagai seorang beradab, saya wajib memberi bekal, bukan?” Lagi-lagi, bagi Belanda, yang mengaku mengemban ”misi peradaban”, ulah si Teuku ini menjengkelkan karena dilematis. Masalahnya, sudah keadaan damai kok masih bermain ”subversif”. Sebaliknya, bagi orang Aceh, mereka yang meneken Maklumat Korte Verklaring itu kan orang pe-nguasa saja. Takluk dan taat, bagi kaum muslimin (pemberontak, di mata Belanda) hanya kepada maklumat Allah-, bukan kepada manusia. Sejak perang panjang 1873, Aceh pada 1920-an mulai- mantap. Uleebalang, sebagai pejabat tinggi Belanda- dan tokoh yang disegani masyarakat lokal, tak boleh ditangkap- begitu saja. Balans politik kawasan bisa terancam di ujung tanduk. Maka harus dicari akal untuk menghabisi Tk. Abeuek, dan terpilihlah perwira dari satuan elite marrechausse, Letnan Infanteri J.H.J. Brendgen. Uniknya, Brendgen menyiapkan tugas dengan saksama. Diam-diam dia pergi ke Bandung, belajar ilmu pe-dang. Kembali ke Aceh, dia mengundang Tk. Abeuek ”ber-adu tangkas, menarikan pedang”. Tk. Abeuek kontan menyanggupi. ”Syaratnya, yang kalah harus mati,” usul Brendgen. ”Setuju!” Teuku menyahut, tegas. Duel pun berlangsung. Letnan Brendgen kagum melihat- Tk. Abeuek mengayun pedang. Lama berlaga, gelang ta--ngan Brendgen lemas. Pedangnya terpelanting. Tubuhnya terkulai, Brendgen mengaku kalah, ”Teuku, bunuhlah aku!” Tk. Abeuek menjawab, ”Ambil pedangmu!” Brendgen tetap minta dibunuh, dan si Teuku tetap menolaknya. Akhirnya, Tk. Abeuek mengajak Brendgen makan bersama rakyat. Di tengah kenduri besar, Brendgen bertanya ”Mengapa Teuku tak mau membunuhku?” Teuku menjawab, ”Karena Tuan tak mau ambil pedang.” Walhasil, duel dan kenduri itu berubah menjadi momentum perdamaian terhormat yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Brendgen menghormati kesepakatan kematian, dan Tk. Abeuek, selaku kesatria, puas: duel itu tak berakhir dengan membunuh lawan tak berdaya. Foto: Ramli.A.Dally Kisah nyata yang tersimpan lama di memori lokal itu kini marak, seperti dituturkan oleh Ramli A. Dally, mantan pegawai Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA), yang mendengarnya dari Brendgen sendiri, pada 1970-an. Brendgen belakangan dikenal menghormati dan mencintai- Aceh, fasih berbahasa Aceh, bahkan pandai ber-azan. Kini, di gerbang kuburan De Kerkhof, Banda Aceh, terukir ”J.H.J. Brendgen. Vriend van Atjeh” (sahabat Aceh), walau Brendgen sebenarnya dikubur di Belanda. Foto: Brendgen terukir di gerbang De Kerkhof Sekarang, kisah duel dan damai tadi dapat menjadi semacam model acuan bagi banyak orang Aceh untuk menafsirkan nota kesepahaman RI dan GAM di Helsinki, sekaligus untuk menguji pelaksanaannya. Moral cerita itu—bahwa suatu pertarungan sengit dapat berak-hir secara bermartabat—dapat menjadi panutan khalayak untuk menerima dan mengawasi pelaksanaan MoU Hel-sinki. Damai mini tanpa wasit ala Teuku Abeuek dan Brendgen tentu tak sama dengan MoU, namun keduanya menyiratkan bahwa hubungan konflik dapat berakhir ketika perdamaian tercapai secara bermartabat. Duel tadi, se-perti setiap pe-rang, merupakan momentum besar yang memacu masyarakat menjadi—dalam model sosiologi klasik Durkheim—semacam ”komuniti moral”. Di situ gengsi, moral, dan kepentingan mapan masing-masing pihak bersatu menjadi taruhan telanjang di hadap-an masyarakat. Wajar jika martabat perdamaian ala Tk. Abeuek dan Brendgen menjadi tolok ukur bagi martabat pelaksanaan perdamaian Helsinki. Itu pula bedanya duel Aceh dengan duel klasik Romawi atau duel Once Upon a Time in the West-nya Sergio Lionne, yang demi harga diri para petandingnya semata, tanpa melibatkan, dan tanpa hikmah, bagi masyarakat. Kebalikan damai mini tadi pernah terjadi pada 1980-an, ketika keluar ancaman di Pidie, ”Barang siapa memberi rokok kepada GAM akan dibunuh!” Tak mengheran-kan, dengan muatan segudang pelanggaran hak asasi, ungkapan ”Kemerdekaan tinggal rokok siebak teu!” (kemerdekaan tinggal sebatang rokok lagi) belakangan jadi populer di Aceh. Lelah oleh konflik 29 tahun plus tsunami, sekarang, pada detik-detik damai menuju berakhirnya militarisasi- Aceh, Desember 2005, Aceh—selaku komuniti politik dan komuniti moral—mendukung perdamaian Helsinki. Itu sebabnya, Aceh pantas bercermin pada Teuku Abeuek dan Letnan Brendgen, meski untuk masa kini perlu di-ingat -adanya ancaman ”milisi” maupun ”GAM liar”. Dengan kata lain, giliran para protagonis di lapangan dan politisi di Jakarta menjaga martabat diri sendiri, -dengan cara ikhlas menjaga komitmen Helsinki.