Entah bagaimana etimologi, asal-usul kata itu, cium bibir dan seterusnya itu disebut “cipok”. Sekarang, kata itu jarang terdengar, meski, tentu, tak berarti jarang terjadi. Tapi, diam-diam, soal cium-mencium ini menjadi tanda-tanda zaman. Cipika dan cipiki, cium pipi kiri dan kanan di saat bertemu atau berpisah, menjadi kelaziman orang kota. Bahkan, di era digital ini, Anda bisa cipi-cipian teruuuus, setiap menit dan setiap jam, lewat “virtual kiss” yang tersedia di internet. Tapi, ketimbang cipokan maya, Anda pasti lebih suka cipi dan cipok beneran. Maka, soal cium-mencium pun jadi jamak di Indonesia. Ini cerita pergeseran suasana zaman.
Di Prancis, yang, orangnya, bahasanya, bahkan sejarah politiknya, sering dianggap romantis, tak ada cerita cipika dan cipiki. Di Jerman, juga tak ada adat cipika-cipiki. Sebaliknya, di Belanda, mereka tak puas dengan dua kali cium pipi, tapi harus tiga kali -cipika, cipiki, dan cipika lagi. Baru baru ini, adat itu menjadi peristiwa nasional ketika Ratu Belanda Beatrix disambut cium tiga kali oleh seorang selebriti lokal. Di Lelystad, kota polder dekat Amsterdam, dia disambut penyanyi asal Maroko. Cium tiga kali sang penyanyi dan penari rapper tenar, Ali B kepada Ratu Belanda itu, menjadi simbol untuk mendorong re-konsiliasi multikultural, karena hubungan antar etnik di Belanda belakangan agak terganggu gara gara pembunuhan sineas Theo van Gogh oleh seorang ekstremis asal Maroko.
Jadi, soal cium-mencium – sebagai isyarat keakraban, kehangatan dan kedamaian - rupanya cocok untuk dijadikan simbolik bagi tujuan-tujuan politik. Belum lama lalu, dalam kolom ini saya menulis betapa Soeharto, meski pun dia bekas diktator yang cemar, toh memperoleh cipi, cihi dan ciken - cium pipi, cium dahi dan cium kening, dari bekas kawan, bawahan, bahkan bekas lawannya, antara lain dari Wakil Ketua MPR A.M. Fatwa yang pernah dihukum Orde Baru belasan tahun penjara. Dan cium kening, diperolehnya dari presiden yang sekarang, Susilo Bambang Yudhoyono.
Semua itu, merupakan isyarat – isyarat loyalitas dari yang mencium terhadap yang dicium, tapi juga isyarat kepada publik bahwa hubungan antara keduanya itu masih penting. Jadi, ada nilai nilai tertentu yang hendak disampaikan. Dengan kata lain, soal cium-mencium seolah-olah tidak hanya jadi bagian dari ranah publik, tapi sudah jadi bagian ranah politik.
Nah, seorang prajurit TNI, Eko namanya, baru baru ini dengan spontan mencium pacarnya, Yuni, gadis Aceh berjilbab, saat keduanya berpisah di pelabuhan Krueng Geukeuh, Lhoksemauwe. Kontan media massa ramai. Majalah Gatra menyambutnya sebagai hal yang wajar dan memasang judul “Tentara, asmara dan air mata”. Tapi suratkabar popular di Belanda, De Telegraaf, mengangkatnya sebagai insiden yang menghebohkan. “Ada heboh seputar ciuman panas,” katanya. Memang, ada asmara yang menggelora, dan di permukaan publik, ada kemarahan.
Tapi, yang paling menarik bagi saya, adalah sikap publik di sekitar adegan cipok itu. Prajurit Eko dan Inong Yuni, jelas, tak peduli dunia sekitar. Sebaliknya, publik sekitar amat peduli terhadap ulah pasangan tsb. Publik yang terdiri dari kolega-kolega Eko memandang Eko dan Yuni dengan penuh perhatian, ingin tahu dan mung-kin juga dengan cemburu. Mereka sama sekali tidak marah, malah amat toleran terhadap adegan privat di muka publik itu. Bahkan, publik tetap senyum ketika bos mereka, sang Pangdam, Mayjen Supiadin, memperingatkan prajurit Eko.
Anehnya, reaksi reaksi yang muncul memperlihatkan kemarahan publik. Sang Pangdam marah, dan atas nama korpsnya, dia minta maaf kepada publik. Di kalangan TNI, ulah tsb rupanya sudah dianggap biasa, lumrah. Di Nisam, Aceh Utara, April 2004 saya pernah mewawancarai seorang komandan setempat, sementara di belakang di tangsi itu, saya dengar suara adegan panas, “lebih seru” ketimbang cipokannya Eko dan Yuni. Selain itu, jelas, toleransi dan wajah gembira para prajurit itu juga mencerminkan suasana perdamaian di Aceh, yang memungkinkan mereka pulang kampung. Maka, saya menyimpulkan, kemarahan Pangdam Mayjen Supiadin itu tampaknya cuma basa basi belaka buat publik lokal, bukan marah beneran kepada anakbuahnya.
Jadi, cipokan Eko-Yuni adalah sebuah “pemberontakan kecil” terhadap polisi-susila.
Apa yang terjadi tampaknya adalah semacam batu ujian: seberapa jauhkah cipok Eko-Yuni itu akseptabel untuk dilakukan di muka umum. Kalau di dunia Barat, batas itu makin hilang, di dunia Asia, harus diuji-coba terus sampai di mana batas toleransi publik. Tapi, jangan lupa, “pemberontakan” Eko yang beragam TNI, dan Yuni yang berjilbab itu, tak sulit mereka lakukan karena TNI punya privilese hanya tunduk pada hukum militer, jadi Eko pun akan bebas dari hukum cambuknya polisi Syariah.
Lantas bagaimana nasib Inong Yuni yang ditinggal? Kok sang Pangdam, publik dan media massa diam sazha?
Friday, September 30, 2005
Cipok ala TNI
Entah bagaimana etimologi, asal-usul kata itu, cium bibir dan seterusnya itu disebut “cipok”. Sekarang, kata itu jarang terdengar, meski, tentu, tak berarti jarang terjadi. Tapi, diam-diam, soal cium-mencium ini menjadi tanda-tanda zaman. Cipika dan cipiki, cium pipi kiri dan kanan di saat bertemu atau berpisah, menjadi kelaziman orang kota. Bahkan, di era digital ini, Anda bisa cipi-cipian teruuuus, setiap menit dan setiap jam, lewat “virtual kiss” yang tersedia di internet. Tapi, ketimbang cipokan maya, Anda pasti lebih suka cipi dan cipok beneran. Maka, soal cium-mencium pun jadi jamak di Indonesia. Ini cerita pergeseran suasana zaman.
Di Prancis, yang, orangnya, bahasanya, bahkan sejarah politiknya, sering dianggap romantis, tak ada cerita cipika dan cipiki. Di Jerman, juga tak ada adat cipika-cipiki. Sebaliknya, di Belanda, mereka tak puas dengan dua kali cium pipi, tapi harus tiga kali -cipika, cipiki, dan cipika lagi. Baru baru ini, adat itu menjadi peristiwa nasional ketika Ratu Belanda Beatrix disambut cium tiga kali oleh seorang selebriti lokal. Di Lelystad, kota polder dekat Amsterdam, dia disambut penyanyi asal Maroko. Cium tiga kali sang penyanyi dan penari rapper tenar, Ali B kepada Ratu Belanda itu, menjadi simbol untuk mendorong re-konsiliasi multikultural, karena hubungan antar etnik di Belanda belakangan agak terganggu gara gara pembunuhan sineas Theo van Gogh oleh seorang ekstremis asal Maroko.
Jadi, soal cium-mencium – sebagai isyarat keakraban, kehangatan dan kedamaian - rupanya cocok untuk dijadikan simbolik bagi tujuan-tujuan politik. Belum lama lalu, dalam kolom ini saya menulis betapa Soeharto, meski pun dia bekas diktator yang cemar, toh memperoleh cipi, cihi dan ciken - cium pipi, cium dahi dan cium kening, dari bekas kawan, bawahan, bahkan bekas lawannya, antara lain dari Wakil Ketua MPR A.M. Fatwa yang pernah dihukum Orde Baru belasan tahun penjara. Dan cium kening, diperolehnya dari presiden yang sekarang, Susilo Bambang Yudhoyono.
Semua itu, merupakan isyarat – isyarat loyalitas dari yang mencium terhadap yang dicium, tapi juga isyarat kepada publik bahwa hubungan antara keduanya itu masih penting. Jadi, ada nilai nilai tertentu yang hendak disampaikan. Dengan kata lain, soal cium-mencium seolah-olah tidak hanya jadi bagian dari ranah publik, tapi sudah jadi bagian ranah politik.
Nah, seorang prajurit TNI, Eko namanya, baru baru ini dengan spontan mencium pacarnya, Yuni, gadis Aceh berjilbab, saat keduanya berpisah di pelabuhan Krueng Geukeuh, Lhoksemauwe. Kontan media massa ramai. Majalah Gatra menyambutnya sebagai hal yang wajar dan memasang judul “Tentara, asmara dan air mata”. Tapi suratkabar popular di Belanda, De Telegraaf, mengangkatnya sebagai insiden yang menghebohkan. “Ada heboh seputar ciuman panas,” katanya. Memang, ada asmara yang menggelora, dan di permukaan publik, ada kemarahan.
Tapi, yang paling menarik bagi saya, adalah sikap publik di sekitar adegan cipok itu. Prajurit Eko dan Inong Yuni, jelas, tak peduli dunia sekitar. Sebaliknya, publik sekitar amat peduli terhadap ulah pasangan tsb. Publik yang terdiri dari kolega-kolega Eko memandang Eko dan Yuni dengan penuh perhatian, ingin tahu dan mung-kin juga dengan cemburu. Mereka sama sekali tidak marah, malah amat toleran terhadap adegan privat di muka publik itu. Bahkan, publik tetap senyum ketika bos mereka, sang Pangdam, Mayjen Supiadin, memperingatkan prajurit Eko.
Anehnya, reaksi reaksi yang muncul memperlihatkan kemarahan publik. Sang Pangdam marah, dan atas nama korpsnya, dia minta maaf kepada publik. Di kalangan TNI, ulah tsb rupanya sudah dianggap biasa, lumrah. Di Nisam, Aceh Utara, April 2004 saya pernah mewawancarai seorang komandan setempat, sementara di belakang di tangsi itu, saya dengar suara adegan panas, “lebih seru” ketimbang cipokannya Eko dan Yuni. Selain itu, jelas, toleransi dan wajah gembira para prajurit itu juga mencerminkan suasana perdamaian di Aceh, yang memungkinkan mereka pulang kampung. Maka, saya menyimpulkan, kemarahan Pangdam Mayjen Supiadin itu tampaknya cuma basa basi belaka buat publik lokal, bukan marah beneran kepada anakbuahnya.
Jadi, cipokan Eko-Yuni adalah sebuah “pemberontakan kecil” terhadap polisi-susila.
Apa yang terjadi tampaknya adalah semacam batu ujian: seberapa jauhkah cipok Eko-Yuni itu akseptabel untuk dilakukan di muka umum. Kalau di dunia Barat, batas itu makin hilang, di dunia Asia, harus diuji-coba terus sampai di mana batas toleransi publik. Tapi, jangan lupa, “pemberontakan” Eko yang beragam TNI, dan Yuni yang berjilbab itu, tak sulit mereka lakukan karena TNI punya privilese hanya tunduk pada hukum militer, jadi Eko pun akan bebas dari hukum cambuknya polisi Syariah.
Lantas bagaimana nasib Inong Yuni yang ditinggal? Kok sang Pangdam, publik dan media massa diam sazha?
Sunday, September 25, 2005
Aceh, 'Persatean' 1965, dan NKRI
Oleh Aboeprijadi Santoso
Ada yang aneh bin ganjil di bulan September 2005 ini. Kontroverse soal MoU (Memorandum of Understanding) atau persetujuan damai Acehdi Helsinki, 15 Agustus, mulai meredup menjelang akhir September -tepat 40 tahun Peristiwa G30S yang menghasilkan aib bangsa dantragedi kemanusiaan terbesar Indonesia. Namun, dalam pemberitaanmedia massa, soal Aceh dan Peristiwa 1965 tak pernah dikaitkan,seolah-olah samasekali tak ada hubungannya.
Padahal, tanpa tragedi 1965-66, Orde Baru tak akan tegak. Tanpa OrdeBaru, kemelut Aceh tak akan separah itu. Dengan kata lain, adapelembagaan ideologi Orde Baru -`missing link' - yang menghubungkankeduanya.
Kebanyakan kritik terhadap perdamaian Aceh kedengarannya munafik,dan mencerminkan schizofrenia dan paranoid yang melekat pada gayanasionalisme Indonesia masa kini.Banyak kekuatan politik dan publik takut, Aceh bakal lepas dari NKRImelalui partai lokal, padahal tahun 1950an kita sudah mengenalpartai-partai lokal tanpa meributkan soal kesatu-an. Ada yangkhawatir akan federalisme, padahal kenyataan negeri ini sudahsemacam semi-federal atau `negara kesatuan-pura-pura'. Lhaa, siapayang memberi otonomi, dan siapa dan bagaimana cara mengontrolotonomi di tangan 400an bupati (Suharto-Suharto Kecil) di seluruhNusantara tanpa mekanisme kontrol tertentu? Lagi pula, mana adapropinsi meraih 70% penghasilan daerah, yang bahkan di AmerikaSerikat ("mbahnya federalisme", dalam istilah Christianto Wibisono)pun mustahil.
Ada pula yang tak bisa tidur, takut hantu Van Mook akan membuatIndonesia buyar, padahal Presiden Sukarno sudah lama mengubur mitositu dengan membubarkan RIS (Republik Indonesia Serikat) pada 1950.Ada yang cemas karena hak Aceh untuk menetapkan suku bunga dapatmengancam ekonomi Indonesia, padahal MoU tidak menyebut Aceh berhakpunya bank sentral sendiri. Lalu, ada yang cemburu, ingin otsus(Jawa Timur, Sulsel, Riau, Bali), padahal sudah disepakati hanya adatiga daerah istimewa/otsus – Yogyakarta, Aceh dan Papua.
Kritik-kritik paranoid itu mengandung tiga unsur dasar yang sama.
Pertama, ketiganya samasekali tidak mempersoalkan ihwal yang palingpokok bagi Aceh: perang dan damai. Artinya, mereka tak pedulikenyataan perang yang amat menyakiti Aceh mau pun kenyataan damaiyang amat didambakan Aceh. Ini bermakna mengabaikan kepentingan Acehyang dilanda dua macam 'tsunami': konflik dan perang ganas selama 29tahun yang melibas kehidupan dan hak-hak asasi rakyat sipil Aceh,dan musibah alam tsunami.
Para pengritik MoU tak mau menarik pelajaran berharga bahwaPerdamaian Helsinki merupa-kan upaya damai - suatu solusi politikdiikuti de-militarisasi - yang pertama dalam sejarah Indonesia dalammenyelesaikan masalah regional dan separatisme.
Bagi Indonesia pasca-Suharto yang terbebani warisan Orde baru,solusi Aceh itu amat penting dan dapat merintis perubahan bagiIndonesia. Sebab, untuk kali pertama, terjadi de-militarisasi yangsignifikan (dari 41.000 menjadi 14.000 TNI) di sebuah daerahkonflik. Dalam hal ini, kesediaan TNI dan Brimob untuk mundur, danGAM untuk menyerahkan senjata, layak dihargai. Lalu, apakah parapengritik itu juga tak peduli sambutan positif rakyat Aceh sejauhini, selama bulan pertama penyerahan senjata GAM dan penarikan TNInon-organik dan Brimob? Kalau tidak, ya "silahkan kalau mau perangsendiri," ujar Jusuf Kalla, perintis Helsinki, mengingatkan secaraimplisit bahwa Megawati-lah yang mengingkari janji untuk tidakmeneteskan darah di bumi Tanah Rencong.
Kedua, menginginkan otsus seperti Aceh menandakan bahwa parapengkritik MoU tidak memahami daerah-konflik seperti Aceh dan Papua.Menuntut keistimewaan otsus Aceh berarti melupakan kenyataan pokokbahwa Aceh sebenarnya tak pernah menikmati "keistimewaan" itu.Mereka melupakan luka pertama Aceh ketika PM Ir. Djuanda pada 1952menjadikan Aceh bagian propinsi Sumatra Utara. Pemerintahan Djuandamengingkari janji dan tangis Presiden Sukarno di muka Abu DaudBeureu'eh dalam pertemuan historis di Hotel Atjeh di Kuta Radja pada1948. Aceh menderita justru karena "keistimewaan"nya tidak istimewa,dan disusul ketimpangan bagi hasil sumberdaya dan konflik berdarahyang panjang.
Singkatnya, orang lupa bahwa Aceh telah menderita kerugian besarsecara material dan bathin semasa Orde Baru. Hanya satu kritikmenohok secara tepat: Kwik Kian Gie menyebut MoU itusemacam "pampasan perang" – analog dengan Jepang pasca PD-II - yangharus dibayar Jakarta kepada Aceh. Sayang, Kwik lupa, selainmembayar pampasan, para penjahat perang Jepang diseret ke TribunalTokio. Lalu, bagaimana dengan penjahat HAM Jakarta semasa DOM (1989-1998) dan setelahnya?
Ketiga, kecuali kalangan TNI, kritik-kritik itu lupa bahwa MoUHelsinki dapat mengancam bisnis militer, yang selama ini merugikankas negara karena menguasai sektor ekonomi informal - daripembalakan liar, penyelundupan sampai perdagangan ganja di Aceh -yang bakal terdesak di bawah pemerintahan-sendiri Aceh kelak.
Namun, paling menarik, kritik-kritik terhadap MoU pada dasarnyabersumber dari persepsi ideologis warisan Orde Baru, yang utamanyamelihat NKRI sebagai entitas teritorial, dan, karena itu, masalahAceh dilihat sebagai masalah teritorial, ketimbang sebagai masalahkeadilan, hak dan identitas lokal. Dalam bahasa sederhana: Orde Barusuka (hasil bumi) Aceh, tapi tak suka orang Aceh (idem dito Papua).
Akibatnya, masalah Aceh selalu dilihat sebagai soal TNI versus GAMbelaka. Menarik, hal ini bahkan diakui oleh Wiryono S, diplomat RIyang berunding dengan GAM pada 2002.
Obsesi dan paranoide teritori itu, selain merujuk pada kepentingannegara pada hasil bumi dan sumberdaya daerah, pada dasarnya,bersumber dari pengkeramatan - sakralisasi - yang terjadi padalembaga negara di bawah Orde Baru. Negara dan segala atributnya,simbol, kelembagaan, kepemimpinan, aparat, termasuk wilayah, telahdikeramatkan. Bahkan amandemen konstitusi tak boleh melebihi 37pasal karena UUD 45 pasalnya sebanyak itu. Di bawah Suharto, negaraotoriter militeristis, pada 1980an, cenderung totaliter denganmembangun hegemoni, yang hendak dilestarikan dengan mengkeramatkan atribut-atribut negara.
Pengkeramatan atribut, simbol dan misi alat negara - "Dari Sabang sampai Merauke", Panca Sila, UUD 1945 dst - menjadi mantra-mantradari doktrin dan dogma Orde Baru yang menciptakan sebuah konstruksidan wacana bernama "NKRI" - bukan negara kesatuan RI yang dicintaipara warga pecinta dan patriot Indonesia, melainkan suatu wacana –alur-alur berpikir - yang mengutamakan kesatuan teritori sebagaiprimat di atas segalanya – bahkan, juga di atas keselamatan dankebahagiaan manusia dan kelompok-kelompok bangsa, demi kesatuan danjati-diri yang seragam dan tunggal.
Akibatnya, misalnya, panji-panji seperti "Cinta Damai Tapi LebihCinta Negara Kesatuan" di tengah konteks Aceh yang dilanda konflikdan tsunami, telah membuat orang Aceh bosan dan kesal, sehinggaretorika itu menjadi hampa dan kontraproduktif. Ini saya saksikan diMeulaboh dan banyak tempat di Aceh pasca-tsunami. Idem-dito pos-posmiliter sepanjang jalan raya Medan-Banda Aceh semasa Darurat Militer2003-04.
Walhasil, mantra-mantra "NKRI" yang doktriner itu menggembosipatriotisme Indonesia. Ironis, bukan, bahwa orang menyangka bahwa,dengan mudah curiga dan berseru "berantas separatisme", akanmenciptakan patriot-patriot. Persis kebalikannya, itu malahmenggembosi persatuan karena retorika itu samasekali tidak menjawabprotes-protes sah terhadap kesewenangan dan ketidakadilan mau punmasalah-masalah daerah.
Bukankah Bung Hatta pernah memperingatkan, janganbiarkan "persatoean" ini menjadi "persatean". Ternyata, persateanbesar 1965-66 malah melahirkan Orde Baru dengan hegemoni ideologisdan pengkeramatan negara itu, yang ekornya kembali menghasilkansejumlah persatean lain di Timor Timur, Aceh dan Papua.Orde Baru - tepatnya TNI/ABRI, Seskoad, Kodam Siliwangi sejak 1964 –sudah menyiapkan paradigma sendiri, dengan menggusuristilah "buruh", "Tionghoa", "demonstrasi", "revolusi", danmenggantinya dengan "karyawan", "Cina", "unjuk rasa", "pembangunan",dsb.
Di bawah hegemoni Orde Baru, istilah-istilah itu bukan sekadarsemantik, melainkan bagian dari pembentukan wacana, alias alur-alurberpikir politik, secara totaliter. Lahir dan berkembang-nya maknasuatu kata dan konsep, menurut filsuf Wittgenstein, sesuai asasverbal valent usu - makna pemakaiannya – adalah suatu 'game',permainan, yang sangat dipengaruhi konteks sosial-politik, apalagidi bawah rezim cenderung totaliter.
Begitu juga konsep yang menjadi legitimasi masa kini, yakni "NKRI".Orang lupa, negara ini lahir tahun 45 sebagai R.I, republik yangsatu, bersatu dengan makna persatuan, bukan kesatuan. Orde Baru-lahyang memperkenalkan wacana "kesatuan" yang bermakna unit ataukesatuan dalam bahasa militer - bukan "unity" atau "united" dalamarti persatuan seperti dimaknai oleh Soekarno dan Hatta dan generasipendiri republik ini. Konsepsi "kesatuan" untuk menggantikan nilaipersatuan sebagai perekat negara, hanya terjadi semasa Orde Baru.
Walhasil, berkat wacana totaliter Orde Baru, berkat orientasiteritorial yang menggantikan orientasi kemanusiaan dan keadilan,setiap aspirasi kedaerahan mudah dianggap "separatis", akhirnya,lahirlah separatisme beneran, yang dijawab dengan persatean. Tapi,karena sang aparat merupakan bagian dari mantra keramat danmempunyai misi menjaga kesatuan yang keramat, maka segala persateankeji demi misi yang keramat itu pun menjadi benar.
Dari sini-lah lahir impunitas bagi semua pelanggaran HAM – di TimorTimur 1999, Abepura, Papua, 2000, di Aceh semasa DOM dst.Menteri Pertahanan semasa Presiden Gus Dur, Mahfud, pernahmengungkap adanya 'deal' bahwa, pasca 1998, para jendral itu setujusaja demokratisasi, asal mereka tidak dihukum karena pelanggaran HAMdi masa lalu di saat bertugas "demi NKRI". Gus Dur sendiri akhirnyaterjungkal, antara lain, karena dicurigai membahayakan kesatuanteritorial NKRI.
Jadi, "NKRI" tidak lagi merujuk pada negara kesatuan, melainkanmenjadi legitimasi bagi suatu rezim. Konsekuensinya, Suharto selamatdari sanksi hukum karena rezimnya-lah yang mengkeramatkan misikeramat aparatnya "demi NKRI". Tepat, Sobron Aidit menyebutSuharto "diktator paling beruntung dan berbahagia". 'Deal' serupaterjadi di Cile, tapi setelah beberapa tahun dicabut parlemen danAugusto Pinochet kini mulai digugat atas kejahatan HAM rezimnya.
Sakralisasi alat dan atribut negara adalah bunga-bunga, dan bagian,dari nasionalisme. Ben Anderson menunjuk, nasionalisme adalahideologi yang "tidak memiliki ideologi", maksudnya, bisa dipakaioleh siapa saja, dari sayap kiri sampai kanan. Kita melihat NKRItidak hanya menjadi mantra Orde Baru, tapi juga didukung parapenentang Orde Baru, termasuk banyak kalangan sayap kiri di dalamdan luar negeri. Saya pernah terkejut, mendengar beberapaorang "klayaban" berbicara soal Aceh, sama galaknya dengan JendralRyamirzad Ryacudu dan PDI-P. Dalam istilah Pramoedya Ananta Toer,ini namanya ironi "Orde Baru Baru".
Dengan kata lain, orang gagal memahami bahwa "NKRI" - yaituIndonesia sebagai unit militer yang berideologi dan berjati-diritunggal dan seragam - adalah bagian dari wacana totaliter.Akibatnya, secara intelektual, mereka pun terjebak menjadi pendukungOrde Baru, meski retorikanya bisa saja sebaliknya.
Mengenang 40 tahun G30S, dengan tragedi persateannya, adalah sebuahironi tersendiri. Peristiwa itu belum terbongkar tuntas, stigmanyamasih tersisa kuat, rehabilitasi hak-hak sipil para korban tetapterabaikan, dan tragedinya tak pernah diakui resmi sebagai aibbangsa - semua itu tersimpan menjadi trauma dan amnesia publik.Tanggal 1 Oktober boleh saja diresmikan sebagai Hari Kesaktian PancaSila (lihat pengkeramatan lagi), tapi konsep `kesaktian' mencerminkan suatu kemenangan, bukan suatu pengakuan negara atas tragedi bangsa yang harus diselesaikan.
Upaya damai Aceh adalah sebuah halaman baru dari perjalanan panjangsejak persatean besar 1965-66, yang memungkinkan hegemoni ideologinegara Orde Baru. Reaksi-reaksi terhadap Persetujuan Helsinki adalahsalah satu imbasnya.
Panjang nian, memang, ekor itu …
Sumber: digubah dari kolom penulis, Radio Nederland, 23 sept. 2005
http://www2.rnw.nl/rnw/id/spesial/kolom_ranesi/kolom_as_aceh_1965_050922?
Wednesday, September 14, 2005
Imbalan Ragam Buat GAM, Siapa Peduli Kiri?
Monday, September 12, 2005
Saturday, September 10, 2005
Aceh deal left the Left out in the cold
PPI Belanda - Commemorating Munir -A Release
http://www.ppibelanda.org/index.php?option=com_content&task=view&id=22&Itemid=1
PPI Belanda
Commemorating Munir -A Release Thursday, 08 September 2005
The one-year commemoration of Munir’s death was held by the Indonesian Students Association (PPI) in the Netherlands at LAK Theatre (Lipsius Building), Leiden University. At 3.15 pm local time, the event started with the screening of the documentary “Garuda’s Deadly Upgrade” created by Australia’s SBS and Indonesia’s Off Stream.
It was attended by around 100 people. The audience was composed of Indonesian students from different cities in the Netherlands and Europe, the Indonesian community in the Netherlands, some Indonesian activists, as well as some Dutch and other foreign students.
After the documentary show, a panel discussion took place. Five speakers took part in a one-hour presentation and discussion. Farah Karimi, a member of the Dutch Parliament from GroenLinks, stated that the Dutch government should share responsibility in solving Munir’s assassination case. “This [tragedy] is a great dismay, not only for the Indonesian people, but also for the Dutch,” said she.
According to Karimi, the reason the Dutch government should also bear responsibility to help unravel this case is not merely due to the historical tie between the two countries. “Since it is a human rights issue, even in normal situation it is still important for the Dutch to pay attention to this case.” Karimi continued that Munir’s murderer must be found; all who are responsible for the killing must be punished. “Impunity may not win,” stated Karimi. In her capacity as a parliamentarian, Karimi promised to monitor the case very closely and asked the audience to keep informing her about the development of this case so that she could put pressure on the Dutch government.
Gerry Van Klinken, a researcher and an editorial advisor for Inside Indonesia noted that Munir was the only single person who could change public opinion in Indonesia toward the Indonesian army (TNI). It was Munir who fought relentlessly to expose the kidnapping of activists during the 1997 -1998 period by some members of the Indonesian Special Army Force (Kopassus). At that time, a military court finally sentenced two generals, one of which is now being suspected to have connection to Munir’s assassination.
In addition, Gerry expressed optimism that the real perpetrators behind Munir’s death would eventually be prosecuted. He specifically referred to the case in Chile in which Pinochet was promised immunity from prosecution under Chilean law. However, current development showed that even the General could not evade punishment forever.
The third speaker was Agung Putri, an activist from ELSAM (Lembaga Studi Advokasi Masyarakat). She praised Munir as a human rights activist who knew when to seize the opportunity to advance human rights cause. She pointed out the work of Munir to reopen the Tanjung Priok case, which after almost 15 years remained unresolved. Putri testified, “Munir was a very humble person, even though he was already considered a celebrity.” During her work, however, she disagreed with the way Munir looked at human rights violation cases, i.e. mainly from a legal point of view. “In analyzing human rights cases, socio-economic and political aspects must also be considered,” said Putri.
Further, she suggested that the investigation on Munir’s death should start to pay more attention to civilian institutions, i.e. Garuda Airlines. “I believe a more thorough scrutiny on Garuda is crucial,” asserted Putri.
Another speaker, Arnold Kohen from the International Humanitarian Project, Washington, D.C., proposed that people around the world should work harder in carrying out international campaign to assure significant progress in Munir’s murder case. He agreed with van Klinken on the issue of impunity in that in today’s cyber world, international solidarity was much easier to establish and maintain; and thus, impunity to repudiate. He suggested that to keep up the pressure on the Indonesian government to solve the mystery surrounding Munir’s death, global networking with the means of the Internet was essential. “At the end of the day, you could get more things done.”
The last speaker, Aboeprijadi Santoso, brought up some topics that until now only circulated among journalists. Santoso claimed that there might be actors other than Pollycarpus whom should also be investigated. He pointed at four passengers with false identity on board Garuda 974 who might present new findings to solving Munir’s murder case. Quite in contradiction, Santoso also said that the new government led by Susilo Bambang Yudhoyono would face difficulty in unraveling this case. “[Susilo Bambang Yudhoyono] is relying too heavily on Syamsir Siregar (now the head of BIN) who may be competent, but can do nothing much inside the National Intelligence Agency (BIN), because he’s a new guy there,” said Santoso.
The event ended with the reading of an open statement by the Indonesian Student Association (PPI) in the Netherlands. The open statement was also signed by Inside Indonesia, KONTRAS (the Commission for Disappearances and Victims of Violence), several Dutch parliamentarians, Stichting Sapu Lidi, several NGOs, and other participants who demanded a deeper investigation to reveal the mastermind behind Munir’s assassination.
Leiden, September 5, 2005PPI Leiden









