Oleh Aboeprijadi Santoso
Ada yang aneh bin ganjil di bulan September 2005 ini. Kontroverse soal MoU (Memorandum of Understanding) atau persetujuan damai Acehdi Helsinki, 15 Agustus, mulai meredup menjelang akhir September -tepat 40 tahun Peristiwa G30S yang menghasilkan aib bangsa dantragedi kemanusiaan terbesar Indonesia. Namun, dalam pemberitaanmedia massa, soal Aceh dan Peristiwa 1965 tak pernah dikaitkan,seolah-olah samasekali tak ada hubungannya.
Padahal, tanpa tragedi 1965-66, Orde Baru tak akan tegak. Tanpa OrdeBaru, kemelut Aceh tak akan separah itu. Dengan kata lain, adapelembagaan ideologi Orde Baru -`missing link' - yang menghubungkankeduanya.
Kebanyakan kritik terhadap perdamaian Aceh kedengarannya munafik,dan mencerminkan schizofrenia dan paranoid yang melekat pada gayanasionalisme Indonesia masa kini.Banyak kekuatan politik dan publik takut, Aceh bakal lepas dari NKRImelalui partai lokal, padahal tahun 1950an kita sudah mengenalpartai-partai lokal tanpa meributkan soal kesatu-an. Ada yangkhawatir akan federalisme, padahal kenyataan negeri ini sudahsemacam semi-federal atau `negara kesatuan-pura-pura'. Lhaa, siapayang memberi otonomi, dan siapa dan bagaimana cara mengontrolotonomi di tangan 400an bupati (Suharto-Suharto Kecil) di seluruhNusantara tanpa mekanisme kontrol tertentu? Lagi pula, mana adapropinsi meraih 70% penghasilan daerah, yang bahkan di AmerikaSerikat ("mbahnya federalisme", dalam istilah Christianto Wibisono)pun mustahil.
Ada pula yang tak bisa tidur, takut hantu Van Mook akan membuatIndonesia buyar, padahal Presiden Sukarno sudah lama mengubur mitositu dengan membubarkan RIS (Republik Indonesia Serikat) pada 1950.Ada yang cemas karena hak Aceh untuk menetapkan suku bunga dapatmengancam ekonomi Indonesia, padahal MoU tidak menyebut Aceh berhakpunya bank sentral sendiri. Lalu, ada yang cemburu, ingin otsus(Jawa Timur, Sulsel, Riau, Bali), padahal sudah disepakati hanya adatiga daerah istimewa/otsus – Yogyakarta, Aceh dan Papua.
Kritik-kritik paranoid itu mengandung tiga unsur dasar yang sama.
Pertama, ketiganya samasekali tidak mempersoalkan ihwal yang palingpokok bagi Aceh: perang dan damai. Artinya, mereka tak pedulikenyataan perang yang amat menyakiti Aceh mau pun kenyataan damaiyang amat didambakan Aceh. Ini bermakna mengabaikan kepentingan Acehyang dilanda dua macam 'tsunami': konflik dan perang ganas selama 29tahun yang melibas kehidupan dan hak-hak asasi rakyat sipil Aceh,dan musibah alam tsunami.
Para pengritik MoU tak mau menarik pelajaran berharga bahwaPerdamaian Helsinki merupa-kan upaya damai - suatu solusi politikdiikuti de-militarisasi - yang pertama dalam sejarah Indonesia dalammenyelesaikan masalah regional dan separatisme.
Bagi Indonesia pasca-Suharto yang terbebani warisan Orde baru,solusi Aceh itu amat penting dan dapat merintis perubahan bagiIndonesia. Sebab, untuk kali pertama, terjadi de-militarisasi yangsignifikan (dari 41.000 menjadi 14.000 TNI) di sebuah daerahkonflik. Dalam hal ini, kesediaan TNI dan Brimob untuk mundur, danGAM untuk menyerahkan senjata, layak dihargai. Lalu, apakah parapengritik itu juga tak peduli sambutan positif rakyat Aceh sejauhini, selama bulan pertama penyerahan senjata GAM dan penarikan TNInon-organik dan Brimob? Kalau tidak, ya "silahkan kalau mau perangsendiri," ujar Jusuf Kalla, perintis Helsinki, mengingatkan secaraimplisit bahwa Megawati-lah yang mengingkari janji untuk tidakmeneteskan darah di bumi Tanah Rencong.
Kedua, menginginkan otsus seperti Aceh menandakan bahwa parapengkritik MoU tidak memahami daerah-konflik seperti Aceh dan Papua.Menuntut keistimewaan otsus Aceh berarti melupakan kenyataan pokokbahwa Aceh sebenarnya tak pernah menikmati "keistimewaan" itu.Mereka melupakan luka pertama Aceh ketika PM Ir. Djuanda pada 1952menjadikan Aceh bagian propinsi Sumatra Utara. Pemerintahan Djuandamengingkari janji dan tangis Presiden Sukarno di muka Abu DaudBeureu'eh dalam pertemuan historis di Hotel Atjeh di Kuta Radja pada1948. Aceh menderita justru karena "keistimewaan"nya tidak istimewa,dan disusul ketimpangan bagi hasil sumberdaya dan konflik berdarahyang panjang.
Singkatnya, orang lupa bahwa Aceh telah menderita kerugian besarsecara material dan bathin semasa Orde Baru. Hanya satu kritikmenohok secara tepat: Kwik Kian Gie menyebut MoU itusemacam "pampasan perang" – analog dengan Jepang pasca PD-II - yangharus dibayar Jakarta kepada Aceh. Sayang, Kwik lupa, selainmembayar pampasan, para penjahat perang Jepang diseret ke TribunalTokio. Lalu, bagaimana dengan penjahat HAM Jakarta semasa DOM (1989-1998) dan setelahnya?
Ketiga, kecuali kalangan TNI, kritik-kritik itu lupa bahwa MoUHelsinki dapat mengancam bisnis militer, yang selama ini merugikankas negara karena menguasai sektor ekonomi informal - daripembalakan liar, penyelundupan sampai perdagangan ganja di Aceh -yang bakal terdesak di bawah pemerintahan-sendiri Aceh kelak.
Namun, paling menarik, kritik-kritik terhadap MoU pada dasarnyabersumber dari persepsi ideologis warisan Orde Baru, yang utamanyamelihat NKRI sebagai entitas teritorial, dan, karena itu, masalahAceh dilihat sebagai masalah teritorial, ketimbang sebagai masalahkeadilan, hak dan identitas lokal. Dalam bahasa sederhana: Orde Barusuka (hasil bumi) Aceh, tapi tak suka orang Aceh (idem dito Papua).
Akibatnya, masalah Aceh selalu dilihat sebagai soal TNI versus GAMbelaka. Menarik, hal ini bahkan diakui oleh Wiryono S, diplomat RIyang berunding dengan GAM pada 2002.
Obsesi dan paranoide teritori itu, selain merujuk pada kepentingannegara pada hasil bumi dan sumberdaya daerah, pada dasarnya,bersumber dari pengkeramatan - sakralisasi - yang terjadi padalembaga negara di bawah Orde Baru. Negara dan segala atributnya,simbol, kelembagaan, kepemimpinan, aparat, termasuk wilayah, telahdikeramatkan. Bahkan amandemen konstitusi tak boleh melebihi 37pasal karena UUD 45 pasalnya sebanyak itu. Di bawah Suharto, negaraotoriter militeristis, pada 1980an, cenderung totaliter denganmembangun hegemoni, yang hendak dilestarikan dengan mengkeramatkan atribut-atribut negara.
Pengkeramatan atribut, simbol dan misi alat negara - "Dari Sabang sampai Merauke", Panca Sila, UUD 1945 dst - menjadi mantra-mantradari doktrin dan dogma Orde Baru yang menciptakan sebuah konstruksidan wacana bernama "NKRI" - bukan negara kesatuan RI yang dicintaipara warga pecinta dan patriot Indonesia, melainkan suatu wacana –alur-alur berpikir - yang mengutamakan kesatuan teritori sebagaiprimat di atas segalanya – bahkan, juga di atas keselamatan dankebahagiaan manusia dan kelompok-kelompok bangsa, demi kesatuan danjati-diri yang seragam dan tunggal.
Akibatnya, misalnya, panji-panji seperti "Cinta Damai Tapi LebihCinta Negara Kesatuan" di tengah konteks Aceh yang dilanda konflikdan tsunami, telah membuat orang Aceh bosan dan kesal, sehinggaretorika itu menjadi hampa dan kontraproduktif. Ini saya saksikan diMeulaboh dan banyak tempat di Aceh pasca-tsunami. Idem-dito pos-posmiliter sepanjang jalan raya Medan-Banda Aceh semasa Darurat Militer2003-04.
Walhasil, mantra-mantra "NKRI" yang doktriner itu menggembosipatriotisme Indonesia. Ironis, bukan, bahwa orang menyangka bahwa,dengan mudah curiga dan berseru "berantas separatisme", akanmenciptakan patriot-patriot. Persis kebalikannya, itu malahmenggembosi persatuan karena retorika itu samasekali tidak menjawabprotes-protes sah terhadap kesewenangan dan ketidakadilan mau punmasalah-masalah daerah.
Bukankah Bung Hatta pernah memperingatkan, janganbiarkan "persatoean" ini menjadi "persatean". Ternyata, persateanbesar 1965-66 malah melahirkan Orde Baru dengan hegemoni ideologisdan pengkeramatan negara itu, yang ekornya kembali menghasilkansejumlah persatean lain di Timor Timur, Aceh dan Papua.Orde Baru - tepatnya TNI/ABRI, Seskoad, Kodam Siliwangi sejak 1964 –sudah menyiapkan paradigma sendiri, dengan menggusuristilah "buruh", "Tionghoa", "demonstrasi", "revolusi", danmenggantinya dengan "karyawan", "Cina", "unjuk rasa", "pembangunan",dsb.
Di bawah hegemoni Orde Baru, istilah-istilah itu bukan sekadarsemantik, melainkan bagian dari pembentukan wacana, alias alur-alurberpikir politik, secara totaliter. Lahir dan berkembang-nya maknasuatu kata dan konsep, menurut filsuf Wittgenstein, sesuai asasverbal valent usu - makna pemakaiannya – adalah suatu 'game',permainan, yang sangat dipengaruhi konteks sosial-politik, apalagidi bawah rezim cenderung totaliter.
Begitu juga konsep yang menjadi legitimasi masa kini, yakni "NKRI".Orang lupa, negara ini lahir tahun 45 sebagai R.I, republik yangsatu, bersatu dengan makna persatuan, bukan kesatuan. Orde Baru-lahyang memperkenalkan wacana "kesatuan" yang bermakna unit ataukesatuan dalam bahasa militer - bukan "unity" atau "united" dalamarti persatuan seperti dimaknai oleh Soekarno dan Hatta dan generasipendiri republik ini. Konsepsi "kesatuan" untuk menggantikan nilaipersatuan sebagai perekat negara, hanya terjadi semasa Orde Baru.
Walhasil, berkat wacana totaliter Orde Baru, berkat orientasiteritorial yang menggantikan orientasi kemanusiaan dan keadilan,setiap aspirasi kedaerahan mudah dianggap "separatis", akhirnya,lahirlah separatisme beneran, yang dijawab dengan persatean. Tapi,karena sang aparat merupakan bagian dari mantra keramat danmempunyai misi menjaga kesatuan yang keramat, maka segala persateankeji demi misi yang keramat itu pun menjadi benar.
Dari sini-lah lahir impunitas bagi semua pelanggaran HAM – di TimorTimur 1999, Abepura, Papua, 2000, di Aceh semasa DOM dst.Menteri Pertahanan semasa Presiden Gus Dur, Mahfud, pernahmengungkap adanya 'deal' bahwa, pasca 1998, para jendral itu setujusaja demokratisasi, asal mereka tidak dihukum karena pelanggaran HAMdi masa lalu di saat bertugas "demi NKRI". Gus Dur sendiri akhirnyaterjungkal, antara lain, karena dicurigai membahayakan kesatuanteritorial NKRI.
Jadi, "NKRI" tidak lagi merujuk pada negara kesatuan, melainkanmenjadi legitimasi bagi suatu rezim. Konsekuensinya, Suharto selamatdari sanksi hukum karena rezimnya-lah yang mengkeramatkan misikeramat aparatnya "demi NKRI". Tepat, Sobron Aidit menyebutSuharto "diktator paling beruntung dan berbahagia". 'Deal' serupaterjadi di Cile, tapi setelah beberapa tahun dicabut parlemen danAugusto Pinochet kini mulai digugat atas kejahatan HAM rezimnya.
Sakralisasi alat dan atribut negara adalah bunga-bunga, dan bagian,dari nasionalisme. Ben Anderson menunjuk, nasionalisme adalahideologi yang "tidak memiliki ideologi", maksudnya, bisa dipakaioleh siapa saja, dari sayap kiri sampai kanan. Kita melihat NKRItidak hanya menjadi mantra Orde Baru, tapi juga didukung parapenentang Orde Baru, termasuk banyak kalangan sayap kiri di dalamdan luar negeri. Saya pernah terkejut, mendengar beberapaorang "klayaban" berbicara soal Aceh, sama galaknya dengan JendralRyamirzad Ryacudu dan PDI-P. Dalam istilah Pramoedya Ananta Toer,ini namanya ironi "Orde Baru Baru".
Dengan kata lain, orang gagal memahami bahwa "NKRI" - yaituIndonesia sebagai unit militer yang berideologi dan berjati-diritunggal dan seragam - adalah bagian dari wacana totaliter.Akibatnya, secara intelektual, mereka pun terjebak menjadi pendukungOrde Baru, meski retorikanya bisa saja sebaliknya.
Mengenang 40 tahun G30S, dengan tragedi persateannya, adalah sebuahironi tersendiri. Peristiwa itu belum terbongkar tuntas, stigmanyamasih tersisa kuat, rehabilitasi hak-hak sipil para korban tetapterabaikan, dan tragedinya tak pernah diakui resmi sebagai aibbangsa - semua itu tersimpan menjadi trauma dan amnesia publik.Tanggal 1 Oktober boleh saja diresmikan sebagai Hari Kesaktian PancaSila (lihat pengkeramatan lagi), tapi konsep `kesaktian' mencerminkan suatu kemenangan, bukan suatu pengakuan negara atas tragedi bangsa yang harus diselesaikan.
Upaya damai Aceh adalah sebuah halaman baru dari perjalanan panjangsejak persatean besar 1965-66, yang memungkinkan hegemoni ideologinegara Orde Baru. Reaksi-reaksi terhadap Persetujuan Helsinki adalahsalah satu imbasnya.
Panjang nian, memang, ekor itu …
Sumber: digubah dari kolom penulis, Radio Nederland, 23 sept. 2005
http://www2.rnw.nl/rnw/id/spesial/kolom_ranesi/kolom_as_aceh_1965_050922?